Sapalah Ruang Kami Sejenak
Sapalah Ruang Kami
Sejenak
Oleh: Itahcraf Aleal (Laela Farchati)
Kali ini Akbar kembali tampak sedang membolak-balik
kertas lembar jawab ujian. Memandang keluar jendela lalu menatap langit-langit
atap kelas serta jari-jemarinya yang tampak asyik memainkan pena menunjukkan
kalau dirinya sedang berpikir keras dan berharap keajaiban datang padanya. Tiba-tiba
senyum mengembang di bibirnya. Tak berapa lama kemudian ia keluar dari kelas.
“Ujian mata kuliah pak Burhan memang selalu penuh
tantangan, tapi tetap saja aku yang pertama selesai mengerjakannya!”, bisiknya
bangga dalam hati saat menuruni anak tangga dari lantai dua.
Langit hari ini sangat cerah, secerah wajah Akbar.
Mahasiswa semester empat perguruan tinggi swasta terbaik di kotanya ini,
berlari penuh semangat menuju gedung kampusnya yang lain.
“Akbar..! mau kemana?”, teriak salah satu temannya
yang sedang duduk di anak tangga gedung kampus.
“Biasa…di tempat favorit..siaran!”, jawabnya penuh
semangat.
Begitulah Akbar, cowok yang kelihatannya kalem tapi cool ini memang sudah menekuni hobinya
bercuap-cuap di depan umum sejak awal masuk kuliah sebagai penyiar radio
kampus. Meskipun baru satu setengah tahun suaranya mengudara di area kampus, ia
amat sangat gape alias mahir dalam memegang peranannya sebagai broadcaster. Suara yang empuk, wajah
cakep tapi lebih sering kelihatan manis, kulit yang lumayan putih kalau dari
rata-rata cowok, tinggi sedang dengan ukuran badan yang ideal, ditambah lagi ia
mahasiswa jurusan pendidikan Psikologi pula, hmm…apalagi coba yang kurang. Itu
baru dilihat dari sisi luarnya. Coba lihat dari sisi dalamnya. Ia ramah, murah
senyum dan baik hati, hal itu sudah sangat terlihat saat ia mulai duduk di bangku
Sekolah Menengah Pertama dulu.
Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB. Seperti biasa
Akbar duduk di atas bangku yang setia menemaninya. Akbar mengambil setumpuk
kertas diatas meja. Tiga kertas diantaranya adalah puisi yang harus dibacakan
pada program siarannya kali ini.
“Assalammualaikum! Selamat pagi! Gimana kamu hari
ini? Tentunya sangat menyenangkan ya? Yup! Selama satu jam kedepan dari pukul
10.00 waktu Indonesia bagian kampus kita, kamu bisa bareng Akbar Satria di
pojok penyair. Yoi! Setiap hari rabu Akbar bakal bacain puisi-puisi kamu yang
sudah kamu kirim kesini…”, celoteh Akbar memulai siaran.
Satu jam sudah berlalu. Sungguh tak terasa. Mau tidak mau Akbar harus mengakhiri siarannya kali ini. Akbar beranjak dari tempat
duduknya dengan membawa secarik kertas lalu menaruhnya di meja redaksi. Akbar
berdiri mengambil segelas air dingin lalu meneguknya. Kemudian ia duduk di
kursi meja redaksi.
“Kak Andi! Lihat ini?”, pinta Akbar sambil
menyodorkan secarik kertas yang ia taruh di meja.
Mendengar permintaan Akbar, Andi pun
menghentikan pekerjaannya.
“Ini puisi kan? yang baru saja kamu bacakan di pojok
penyair.. ada yang salah?”, tanya kak Andi.
“Iya, aku tahu, maksudku lihat siapa
pengirimnya?”
“Hmm..Rasharla Lulan.”
“Kak Andi tahu siapa orangnya?”
“Hmm, iya aku lihat siapa orang-orangnya, tapi kalau
siapa-siapa nama pengirimnya, kak Andi kurang tahu tuh Bar! Kan yang ngirim
banyak. Kak Andi kan tidak sempat lihat satu per satu ini punya siapa”
“Hehehe…gitu ya kak..”, ujar Akbar sambil menghela
napas panjang.
“Memangnya kenapa Akbar?”
Akbar beranjak ke sudut ruangan. Ia membuka lemari
kecil tempat arsip-arsip puisi disimpan. Akbar mengambil empat buah kertas
berwarna hijau muda yang ia taruh di tempat terpisah, kemudian ia kembali duduk
di tempat semula.
“Coba kak Andi baca puisi-puisi ini! Yaaa pada
intinya ya kak, puisi-puisi yang ditulis oleh Rasharla Lulan ini bukan sembarang
puisi.”, tutur Akbar antusias.
Kak Andi manggut-manggut mendengar pernyataan Akbar.
“Ini sudah yang kelima kalinya si Rasharla Lulan ini
kirim puisinya ke kita ya?”, ucap kak Andi.
“Betul kak! eh kak, di puisi yang terakhir tercantum
nama sebuah sekolah rupanya.”, sahut Akbar seketika.
“Bukannya ini daerah yang…???!”
Kak Andi dan Akbar saling menatap heran.
Lf_Lf_Lf
“Assalammualaikum… Akbar!”
Terdengar suara pintu ruang tamu
diketok oleh Zidan, sahabat sekaligus teman sekampus Akbar. Akbar berlari gesit
ke sumber suara.
“Waalaikumsalam….aku mau ada kuliah nih, sedang tidak
punya waktu, lain kali saja kalau mau wawancara.”, ucap tengil Akbar sambil
membukakan pintu lantas berlalu ke dalam rumah.
“Ya..ya..ya.. I know.. I know.. wahai penyiar profesional
yang digila-gilai banyak makhluk hidup, ada artikel bagus nih di koran, kali saja kamu tertarik untuk diulas di programmu itu.”, tutur Zidan sambil
mengikuti Akbar di belakangnya.
“Eh
ini kan sabtu, tidak ada kuliah tau!!”, sahut Zidan protes.
Mendengar apa yang disampaikan oleh
sahabatnya, cukup membuat gatal tangan Akbar untuk segera meraih koran yang
dibawa Zidan. Ternyata benar. Tak hanya membuatnya tertarik saja tetapi juga
sangat menggoda pikirannya. Tentang posisi pendidikan di negeri ini.
“Kamu tahu dimana daerah ini, Dan?”, tanya Akbar.
“Sepertinya aku tahu…”
“Sungguh??”
“Ya….aku ini kan sang petualang..!”, ujar Zidan
membanggakan diri.
“Kalau begitu, ayo kita kesana sekarang..!”, ajak
Akbar sambil melesat ke kamar mengambil kunci motor.
“Hei..hei…! tunggu dulu! Kita mau
apa??”, tukas Zidan.
“Sudah buruan!”, jawab Zidan sambil
menghidupkan motornya.
Tak lama mereka pun sudah berlarian
di bawah tatapan sang surya bersama pengguna jalan yang lainnya. Akbar
membiarkan beribu pertanyaan Zidan padanya selama perjalanan tanpa satupun
jawaban yang sesuai. Sambil menahan tawa, Akbar cukup menjawabnya dengan, “Lihat saja nanti ya di lokasi”.
Lf_Lf_Lf
Satu jam berlalu. Sampailah mereka.
Sekali lagi Akbar memastikan kembali pada Zidan tentang daerah yang dituju.
Mereka lantas menyusuri bongkahan batu bata yang membentuk jalan setapak ke arah sebuah bangunan.
Bangunan yang berlabelkan “Sekolah Dasar” itu tak begitu nyaman dipandang untuk
disebut sebagai bangunan sekolah.
Belum juga Akbar dan Zidan sampai di
pelataran sekolah. Langkah mereka keburu tertahan oleh sapaan hangat seseorang.
“Kakak-kakak mau kemana?”, sapa si
gadis kecil.
“Oh kami mau ke….?”
“Sekolah Lulan ya?”, potong gadis kecil tersebut
yang ternyata bernama Lulan.
“Iya kesitu dek. Kakak mau ke sekolah adek siapa?”,
tanya Akbar.
“Lulan kak.”, sahut Lulan sambil menyodorkan tangan
seraya berkenalan.
Kedua pemuda itu lantas menyambut hangat salam
perkenalan dari gadis kecil itu. Gadis kecil yang tampak cerdas dan ceria. Namun,
tampak dewasa di mata Akbar.
“Kakak-kakak ini wartawan ya?”, tanya Lulan
perlahan.
“Oooh bukan, Lulan. Kami cuma tahu sekolahnya Lulan
saja.”, tukas Akbar ramah.
“Lulan kelas berapa?”, tanya Zidan lanjut.
“Oh…kirain kakak itu wartawan-wartawan kayak waktu
itu. Lulan kelas lima kak. Kakak mau mencari siapa? Hari ini sekolah diliburkan
kak.”
“Loh kenapa Lan?”, sahut Zidan.
“Ayo ikut Lulan ke dalam sekolah.”, ajak Lulan
antusias.
Lf_Lf_Lf
Akbar tergeletak di kasur kamarnya. Lelah. Sangat
lelah. Tak hanya badannya, hati dan perasaannya pun demikian. Kembali ia
terbayang atas kejadian tadi siang. Tentang apa dan siapa yang ia temui di
ujung sana. Di sebuah daerah terpencil. Namun, menyimpan sesuatu yang sepatutnya
diperhatikan secara lebih. Tentang sesuatu yang seharusnya lebih menjadi
sasaran utama untuk diperbincangkan solusinya dan mewujudkannya secara nyata.
Tapi lagi-lagi hal ini hanya dipandang sebelah mata. Hati Akbar terasa
tercabik-cabik saat benar-benar menyaksikan sebuah bangunan sekolah di depan
matanya. Sebuah bangunan sekolah yang sama sekali tak bisa disebut bangunan
sekolah. Atap sekolah yang bocor di mana-mana, kayu-kayu penyangga yang terlihat
rapuh dan tua, serta warna cat dinding sekolah yang sudah tampak sedemikian
lusuhnya. Bahkan meja kursi yang ada pun hanyalah meja kursi yang tersisa dari
tahun ke tahun. Tak terbayang bagaimana tak nyamannya anak-anak itu saat
mengikuti pelajaran. Duduk berjejal-jejalan dari pagi hingga siang. Belum lagi
saat hujan tiba. Mereka harus berlarian mencari benda apapun yang dapat
digunakan untuk menadah air yang langsung jatuh dari langit itu. Apapun mereka
lakukan asal dahaga akan pengetahuan dapat terobati. Tak hanya bangunan
sekolahnya saja, sepanjang perjalanan menuju sekolahnya pun sangat luar biasa.
Tak ada jalan aspal. Yang ada hanyalah tanah berwarna merah yang siap mengental
saat hujan tiba.
Akbar kembali teringat tentang gadis
kecil yang ia temui siang tadi. Iya… Lulan, yang juga salah satu murid “luar
biasa” di sekolah itu. Tapi lambat laun ingatannya mencari-cari sesuatu. Ia
teringat puisi yang ia bicarakan beberapa waktu yang lalu. Segera ia cari
beberapa lembar puisi yang sengaja ia bawa pulang ke rumah. Tercantum nama
sekolah yang ia datangi tadi siang dan sebuah nama.
“Rasharla Lulan…?? Ini Lulan si gadis kecil
itukah??”, gumam Akbar dalam hati.
“Oh my God…anak secerdas ini seharusnya lebih
mendapatkan perhatian lebih untuk tempat di mana ia bersekolah”, ujar Akbar
terharu.
Bagaimana tidak, sekolahnya adalah salah satu
sekolah diantara ribuan sekolah lainnya yang mugkin bernasib sama. Sama-sama
merupakan sekolah yang tak dipandang keberadaannya dan disengajakan tak
terlihat oleh negri ini.
Akbar menatap ke sudut kamarnya. Kosong. Tapi
tiba-tiba matanya memfokus pada sebuah surat kabar yang dibawa Zidan tadi pagi.
Matanya menerawang jauh. Ia biarkan pikiran dan hatinya bergumal menjadi satu.
Teringat ia akan keinginan orang-orang di atas sana untuk memperbaharui apa
yang seharusnya tak perlu diperbaharui. Mereka sibuk memilah-milah fasilitas
apa saja yang perlu diperbaharui. Mungkin bukan perlu tapi sengaja. Akbar
memejamkan matanya. Kini hanya terdengar dentingan jarum jam dinding kamar
Akbar yang lambat laun menghipnotis Akbar ke taman mimipi.
Lf_Lf_Lf
Suara khas Riyan D’massive dalam Jangan Menyerahnya mulai bergema melalui
file musik yang diplay Akbar untuk
menutup siarannya kali ini.
“Kak Andi…aku keluar dulu ya, ada kuliah tambahan
setengah jam lagi.”, pamit Akbar sambil meraih tas selempang hitam yang
tergolek di mejanya.
“Oh ya Bar, puisi waktu itu apakah pemiliknya masih
mengirim puisinya di programmu?”, tanya kak Andi.
Langkah Akbar terhenti. Ia baru ingat kalau ini
minggu kedua Lulan tak mengirim puisinya. Banyaknya tugas kuliah dalam dua
pekan terakhir membuatnya lupa akan satu hal itu.
“Ini yang kali keduanya dek Lulan tak mengisi
kak.”, sahut Akbar.
“Kamu sudah kesana lagi? Apa mungkin sedang terjadi
sesuatu?", ucap kak Andi cemas.
“Belum…semoga saja tidak kak.”
“Ya sudah, kuliah dulu sana”, ujar kak Andi.
Sejurus kemudian, Akbar sudah menaiki tangga gedung
tempatnya ia kuliah. Pikirannya kembali berkecamuk mengingat ucapan partner siarannya itu. Lamunannya buyar
seketika saat Zidan menepuk punggungnya dari belakang.
Lf_Lf_Lf
Barisan seragam putih merah terlihat berlarian
kesana kemari. Tanah merah yang mengental karena hujan semalam tak mengurangi kegesitan
kaki-kaki kecil mereka dalam melangkah. Lain halnya bagi Akbar dan Zidan yang
sedari tadi tertatih-tatih menyusuri jalan depan sekolah Lulan. Seketika itu
juga terdengar teriakan suara mungil memanggil mereka berdua.
“Kak Akbar! Kak Zidan! Lulan disini…!”
Mereka berdua menengok ke sumber suara. Pandangan
mata mereka berhenti saat menangkap lambaian tangan Lulan. Mereka membalas
lambaian Lulan dan langsung berjalan berbalik arah.
“Belum saja finish
eh kita harus berjuang kembali berbalik arah ke garis start, hahaha “, canda Zidan pada Akbar.
Akbar tergelak mendengar candaan sahabatnya.
“Kakak kemana saja? Kok pada baru main kesini
lagi?”, tutur Lulan setengah manyun.
“Iya dek maaf ya? Kakak-kakak disana juga banyak
pe-er kayak adek disini”, jawab Akbar sambil berlutut dan membelai rambut
Lulan.
“Gimana dek sekolahnya?”, tanya Zidan.
“Bentar lagi mau ujian semester nih kak, tapi
buku-buku yang di kelas basah semua kena hujan deres semalem”
Akbar dan Zidan terdiam mendengar tuturan anak kecil
itu. Tak ingin suasana berubah makin mengharu biru, lantas Akbar mengalihkan
pembicaraan.
“Lulan ya yang sering kirim puisi ke radio kampus
kakak?? Kok sudah kirim lagi sih?”, tanya Akbar.
“Hehehe…banjir soalnya kak dirumah, jadi tidak
sempat nulis. Di sekolah juga sama saja, tiap ujan gede Lulan dan teman-teman
cuma bisa beresin kelas yang kena hujan gede.”, tutur Lulan.
“Sekolahnya belum ada yang memperbaiki ya dek?”,
Tanya Zidan.
“Kata bu guru sih pas waktu itu minggu depan kak,
tapi kalau misal belum-belum juga ya nunggu lagi, yang mau benerin lagi sibuk
mungkin kak, banyak P-R juga mungkin ya kak kayak Lulan”, tutur Lulan polos.
Akbar dan Zidan tersenyum simpul menanggapi
kepolosan Lulan tentang keadaan sekolahnya yang tak kunjung disapa oleh
orang-orang di atas sana.
“Ayo Lulan temani kakak-kakak jalan saja yuk!”, rayu
Zidan.
“Kita cari apa yang Lulan butuhkan untuk belajar…
Lulan mau??”, tutur Akbar semangat.
Lulan pun langsung mengiyakan tawaran Zidan dan
Akbar. Saat baru saja meninggalkan area sekolah, tiba-tiba Lulan teringat kalau
sedari tadi ia tak menggendong tasnya. Lantas ia segera mengambil langkah
seribu.
“Kakak-kakak disini dulu ya! Lulan bentar lagi
kembali kok!”, ujar Lulan sambil berlari ke kelasnya.
“Bangunan sekolah ini benar-benar sudah tak
layak..”, gumam Akbar dalam hati saat melihat Lulan berlari ke sekolahnya.
Angin bertiup semilir saat itu.
Dingin terasa. Tak biasanya Akbar merasa demikian. Seketika terdengar suara
gaduh. Saat mereka berdua menoleh ke arah sekolah, ternyata sesuatu terjadi.
Mereka berlari terbirit-birit.
Lf_Lf_Lf
Akhirnya kayu-kayu rapuh itu lepas
juga dari posisinya. Atap sekolah itu ambruk. Akbar dan Zidan langsung
mengobrak-abrik runtuhan yang menggunung. Anak kecil itu merintih pelan.
“Kakak…sakit kak…”, rintih Lulan
terbata-bata.
Tak kuasa Akbar menyaksikan sekujur
tubuh Lulan memar dan luka karena dihantam reruntuhan sekolah. Zidan pun
demikian tak kuasanya. Badannya yang masih kecil tak cukup kuat menahan
dahsyatnya amukan bangunan sekolah yang sudah tak layak itu. Akbar menggendong
Lulan dan mencoba secepat mungkin mencari pertolongan bersama Zidan. Tapi
langit tampak begitu kelabu di mata mereka. Suara Lulan makin tak terdengar
desahannya. Tak ada lagi rintihan yang menggema di telinga Akbar dan Zidan.
Gadis kecil itu kini telah pergi.
Lf-Lf-Lf
Komentar
Posting Komentar
Percaya diri atas hasil tulisanmu!
Plagiat karya termasuk pembodohan bangsa.
Terima kasih telah mengapresiasi tulisan saya! ^^