Koran 2002
Koran
2002
Oleh Mahayana Aria
Satya
Awan
kelabu mulai datang. Siang yang terik mendadak hilang. Ranting pohon bergerak
tak terarah terkena embusan angin. Perubahan cuaca yang drastis membuat semua orang terheran. Tuhan seakan murka oleh kelakuan hamba-hambaNya
yang zalim. Tidak lama kemudian, petir menggelegar di angkasa. Aku menatap
langit yang gelap dengan mataku. Dengan tekad yang mantap, aku mulai mengayuh
sepeda secepat mungkin sebelum sambaran petir menjemputku.
Aku terheran-heran setelah tiba di
depan sekolah. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.
“Kemana
rombongan yang akan berangkat? Rasa-rasanya hari ini jadwalnya berangkat,
tetapi ke mana perginya semua orang?” hati kecilku mulai bersuara.
Lima
menit. Sepuluh menit. Berlalu dengan cepat. Angin dingin menemani
kesendirianku. Aku membaca ulang surat undangan menuju Kota Denpasar dalam
rangka pertukaran pelajar selama dua bulan. Tak lama kemudian, Bu Ani datang.
Beliau adalah guru di SMP Negeri 1 Denpasar yang akan mengantarku bertolak ke
Denpasar. Setelah menunggu cukup lama, mobil yang akan mengantar pun tiba. Kami
bertolak dari Pekalongan menuju Bandara Ahmad Yani di Kota Semarang. Sesampainya di bandara, kami pun melakukan boarding pass dan menunggu beberapa saat
untuk keberangkatan.
Selama
perjalanan, aku membaca buku tentang Pulau Bali. Mulai dari kebudayaan, adat
istiadat dan serba-serbi kuliner semuanya aku pelajari. Maklum, baru pertama kali pergi ke sana.
Dengan sedikit mempelajari beberapa hal tentang itu semua, semoga aku bisa
beradaptasi dengan masyarakat di sana. Sebelum pesawat mendarat, aku bisa
melihat keindahan Pulau Bali yang sangat menawan. Aku sangat senang berada di
Pulau Bali karena Bali termasuk salah satu destinasi wisata terbaik di dunia.
Oleh karena itu, aku patut bersyukur kepada Tuhan atas beribu kekayaan bangsa
Indonesia.
Gemuruh
suara pesawat di Bandara I Gusti Ngurah Rai membangunkan mataku yang telah
berkali-kali terlelap. Aku telah dijemput oleh Paman Sofyan selaku pembina yang
akan membinaku selama berada di Denpasar. Berbagai informasi penting telah
diberikan kepadaku. Seperti jalan menuju sekolah, tempat membeli makanan dan
hal penting lainnya. Tetapi ada hal yang
membuatku bingung, jarang sekali aku menemukan mushola ataupun masjid di seluruh
penjuru kota ini. Tidak seperti di Pekalongan, kota asalku. Kalaupun ada
masjid, letaknya terhitung sangat jauh dari asramaku. Aku terpaksa harus
menggunakan kompas untuk menentukan arah kiblat. Hal ini sudah mulai membuatku
bosan akan kehidupan di Denpasar.
Malam
makin larut. Tak ada suara kebisingan orang berlalu lalang. Hanya terdengar
suara jam yang menggelitik. Aku mulai merebahkan diri di kasur. Perjalanan yang
melelahkan telah menghipnotis mataku untuk segera tidur.
“
Tok..tok..tok,” ketukan misterius membangunkanku.
Aku
menelan ludah. Firasat buruk mulai mendekatiku. Akan tetapi ketukan itu terus
berulang-ulang hingga beberapa kali. Detak jantungku menjadi cepat. Keringat
dingin membasahi diriku. Setelah berpikir panjang, aku mulai memberanikan diri
untuk bangkit menuju pintu yang berada sekitar lima meter dari kasur.
“Prok..prok”
terompah menggetarkan lantai.
Makin
dekat. Kugenggam gagang pintu dan mulai mencoba membukanya.
“Pergi
wahai iblis yang dilaknat !” teriakku seraya menodongkan pukulan.
“Allahu
Akbar !” jeritnya menangkis pukulanku.
“
Maafkan diriku paman,” ucapku malu-malu tatkala kesadaranku meraba ingatanku
akan sosok di depanku.
“Sudah,
tidak apa-apa. Benarkah adik bernama Budiman dari SMP Negeri 2 Pekalongan yang
mengikuti program pertukaran pelajar ?” tanya seorang pria dengan lembut.
“Iya
paman, saya orangnya,” jawabku dengan penuh hormat.
“Baguslah
kalau begitu. Saya paman Sofyan yang tadi menjemputmu di bandara. Saya hanya
meninjau ulang pelajar-pelajar di asrama ini. Saya salah satu pembina
pertukaran pelajar di Denpasar. Nanti jika membutuhkan sesuatu bisa mencari
saya ya?” jelasnya menimpali.
Halusinasi
makhluk gaib telah membuat bodoh diriku. Tak henti-hentinya aku merasa bodoh
dengan apa yang baru saja kulakukan.
“Ada-ada
saja paman Sofyan itu,” gerutuku sembari menghela nafas lega.
Keesokan
paginya, seragam putih biru menghiasi tubuh hitamku. Tidak lupa kukenakan dasi
dan topi sebagai pelengkap. Jarak dari asrama tidak begitu jauh dengan sekolah.
Jadi aku memutuskan untuk berjalan kaki. Tidak lama kemudian, aku melihat tanda
belok ke kiri bertuliskan “SMP N 1 Denpasar”. Hati kecilku berbunga-bunga.
Sebentar lagi aku akan mendapat pengalaman dan kawan baru di sana. Sesaat
sebelum tiba di sekolah, aku mendapati seseorang seusiaku sedang menangis sedih
sembari membolak-balik kertas koran yang dibawanya.
“Mengapa
kamu menangis wahai kawanku, Tio?” suara lembutku mengggetarkan hatinya yang
sedang terpaku.
Ia
tidak menjawab ucapan manisku yang berbau akrab. Namun, ia malah menunjukkan ekspresi
bingung seolah-olah mukanya dipenuhi tanda tanya akan kehadiranku yang
mengetahui namanya. Tetapi dalam sekejap ia meraba bagian dada kanannya yang
terdapat bed nama. Dalam sedetik tanpa ekspresi ia lantas menyodorkan kertas
koran lusuhnya kepadaku. Tertulis di sana sebuah peristiwa bom Bali 12 Oktober
2002 yang mengenaskan. Aku menghela nafas. Kubaca setiap kata yang menceritakan
kejadian tersebut. Setelah melihat jumlah dan nama korban, keningku mulai
berkerut. Terdapat dua nama yang Tio lingkari dengan garis berwarna merah.
Ketika hendak bertanya tentang hal itu, Tio justru berlari menuju gerbang
sekolah. Aku pun memasukkan koran lusuh itu ke dalam tas.
Tet..tet..tet
!” dering bel menderu-deru.
Aku
berlari menuju kelas 7F, sesuai petunjuk dari salah seorang pembina petukaran
pelajar yang menjadi salah satu guru di SMP Negeri 1 Denpasar. Langkahku
terhenti. Mataku penuh keheranan setelah melihat kondisi kelas. Murid perempuan
di sini berseragam pendek dan tidak mengenakan kerudung. Murid laki-laki
berseragam pendek dan sangat berbeda seperti yang kukenakan. Walaupun dengan
keraguan aku pun memasuki kelas dan duduk di pojok sebelah kanan. Tidak lama
kemudian, seorang ibu guru masuk. Beliau adalah Bu Ani selaku guru PPKn. Beliau
memintaku untuk memperkenalkan diri di depan kelas. Namun, kelas sesaat menjadi
lebih hening setelah aku mengucapkan .
“…saya
seorang muslim,”.
Tetapi
Bu Ani segera memintaku untuk duduk dan mencairkan suasana. Bel istirahat
berdering. Aku pergi keluar kelas dan berjalan mencari musholla sekolah. Akan
tetapi hasilnya nihil. Aku tidak menemukan sebuah musholla di sekolah ini. Aku
mencoba bertanya pada ketua kelas 7F.
“
Tio, tahukah kamu di mana musholla
sekolah ini berada ?” tanyaku penuh harap.
“
Saya tidak mengenal semua umat islam di sini ! Mereka, teroris-teroris bengis
yang telah memaksa kedua orang tuaku untuk pergi ke alam baka!” suara lantang
disertai sorotan mata dengki ia ucapkan kepadaku.
“
Mereka itu teroris, agamaku tidak mengajarkan untuk saling membunuh sesama umat
manusia. Itu semua hanya kebohongan belaka. Mereka itu radikal. Bukan islam
yang sebenarnya !” jelasku tak kalah lantang.
Aku
menarik nafas dalam-dalam. Amarah memuncak hatiku. Namun, aku mencoba bersabar.
Aku kini mengerti maksud dari lingkaran berwarna merah di koran lusuh tadi. Hari
demi hari aku bersekolah. Aku merasakan perbedaan yang sangat berarti. Semua
teman lambat laun mulai menjauhiku. Aku tahu mungkin mereka tidak menyukai
agamaku. Tetapi aku mencoba
bersabar dan sangat sabar. Hingga pada suatu hari, keadaan kelas begitu
sepi. Jam menunjukkan pukul 06.45, tetapi belum ada satu temanku yang
berangkat. Aku terdiam. Terpaku di pinggir pintu kelas. Tiba-tiba Tio datang
dari belakang dan mendorongku ke dinding.
“
Buktikan bahwa Tuhanmu dapat menolongmu, jika Tuhan menolongmu maka kau akan
terlepas dari cengkramanku !” ucapnya seraya mencekikku dengan kedua tangannya.
“
Tio ! Apa yang kau lakukan ! Lepaskan Budiman !” sergah Bu Ani seketika dengan
wajah merahnya saat beliau berlari ke dalam kelas.
“
Ini bukti bahwa Allah menolongku Tio ! Allah menolongku dengan perantara Bu Ani
!” bisikku kepada Tio sembari membetulkan kerah.
“
Akan diadakan lomba menari satu bulan lagi
di alun-alun kota. Kalau begitu kau kutantang ikut ! Jika Tuhanmu menolongmu,
maka kau akan pulang dengan kemenangan !” tantang Tio dengan rona wajah
liciknya.
Aku
menghela nafas dan melihat Tio berjalan ke tempat duduknya. Aku menyanggupi tantangannya. Tetapi aku
bingung, kepada siapa aku harus belajar menari.
Bel
pulang sekolah telah bergema. Teman-teman dan guru telah meninggalkan ruangan.
Tersisa aku sendiri. Aku berpikir dan terus memikirkan tentang tantangan yang
Tio ajukan kepadaku. Tiba-tiba aku kembali teringat dengan ucapan paman Sofyan.
Segera kugendong tas ransel hitam di pundak dan bergegas pulang menuju asrama.
Dengan mudah aku menemukan Paman Sofyan di asrama sedang asyik membaca Koran.
Aku mulai menceritakan kronologis kejadian dari awal aku masuk sekolah. Paman
Sofyan memperhatikan semua kata-kata yang keluar dari mulutku dengan saksama.
“
Paman bangga denganmu Budi, kamu tetap menjaga kerendahan hatimu walaupun
dirimu dikesampingkan tanpa sebab terlebih jika itu adalah kesalahpahaman.
Paman juga seorang muslim. Paman berasal dari Semarang. Akan kuajarkan salah
satu tarian khas Jawa Tengah,” ujarnya berapi-api.
Tekad
Paman Sofyan membuat hatiku terharu. Beliau telah membangkitkan semangatku yang
tertidur. Hari yang ditunggu tiba, Alun-alun kota sangat ramai. Aku melihat Tio
sedang bersiap dengan teman-temannya untuk mementaskan Tari Kecak, tarian khas
tanah Bali. Sorot mata sinisnya menyapaku di alun-alun kota saat Tio dan
teman-temannya tampil. Penonton sangat antusias menikmati gerakan dan alunan
musik Tari Kecak. Aku hanya diam membisu. Aku memperhatikannya dengan serius.
Sampai-sampai aku hampir lupa setelah Tio dan teman-temannya tampil adalah
giliranku.
Alunan
musik khas Jawa menggelegar di atas panggung. Penonton sangat antusias
menikmati kelincahan gerakanku di atas kuda lumping. Gemuruh tepuk tangan dan
sorak sorai membuatku menjadi lebih semangat. Tetapi aku tetap fokus dan tenang
agar semua berjalan dengan lancar.
Penampilan
yang sangat menarik dari peserta lainnya telah membuat nyaliku menjadi ciut
untuk menunggu pengumuman kejuaraan. Ditambah lirikan mata Tio yang tajam, membuat nyaliku hilang. Tarian pemenangnya
adalah tarian kuda lumping yang tak lain adalah tarian yang kubawakan. Senyum
manis tak tertinggal di bibirku. Paman Sofyan sangat bangga atas hasil yang aku
raih ini. Tetapi ada yang aku herankan, dalam sekejap Tio menghilang dari
pandanganku saat aku sedang menerima piala kejuaraan. Mungkin dia kesal atau
marah karena gagal menjadi pemenang.
***
Du
belas tahun berlalu. Kehidupan di Salzburg, Austria sungguh mengasyikan. Kota
peninggalan seorang komponis terkenal Wolfgang Amadeus Mozart telah menjadi
salah satu destinasi wisata terbaik di dunia. Terlebih sekarang adalah musim
salju. Bunga es bertaburan di pinggir jalan dan ranting-ranting pohon. Perapian
rumah selalu menyala agar rumah menjadi lebih hangat. Aku berjalan menyusuri
lorong kecil di sekitar komplek. Menikmati dinginnya salju yang sudah aku
impi-impikan sejak kecil.
”Gubrakk!”
aku terjatuh dari kursi.
“
Yah ternyata hanya mimpi,” gerutuku kesal.
Aku
melihat sekeliling. Semua orang memperhatikan tingkah konyolku. Tak lain adalah
seorang pria seumuranku yang berada persis di belakang.
“Lain
kali hati-hati kalo duduk Budi,” ucap pria yang membantuku berdiri.
Belum
sempat aku menjawabnya, ia justru beranjak pergi menjauhiku. Aku
terheran-heran. Aku memikirkan siapa yang membantuku tadi. Datang tak diundang,
pergi tak berpamitan. Aneh ya? Tetapi aku seperti mengenal ciri khas suaranya.
Suara berat dengan pelafalan serak-serak. Aku rasa tidak lain tidak bukan ia
adalah Tio sahabat lamaku. Tak lama kemudian aku beranjak pergi menuju kasir
untuk membayar segelas minuman yang kupesan tadi. Betapa terkejutnya aku ketika
melihat seorang yang sangat berarti dalam hidupku.
“
Tio ? Dari mana saja kamu selama ini ? Aku selalu mengkhawatirkanmu,” celetukku
seraya memegang tangannya.
“
Maafkan aku Budi, dulu aku selalu meremehkanmu, selalu menjatuhkanmu, tetapi
mengapa kamu selalu sabar ?” ucapnya berlinang air mata.
“
Aku menghormati kesetiaan kawanmu Budi,
untuk itu aku nyatakan bahwa aku masuk islam!” tambahnya dengan penuh
keyakinan.
Aku
memeluknya erat-erat. Tak disangka Allah telah mempertemukanku dengan sahabat
lamaku Tio. Sebenarnya tidak ada teman yang ingin menjatuhkan satu sama lain,
tergantung saja bagaimana kita menyikapinya
------------------------------------------------------------------------------------
Naskah cerpen "Koran 2002" sudah pernah diikutkan dalam lomba penulisan cerpen berbahasa Indonesia sebagai peserta Olimpiade Literasi Siswa Nasional (OLSN) tingkat Nasional tahun 2017
------------------------------------------------------------------------------------
Naskah cerpen "Koran 2002" sudah pernah diikutkan dalam lomba penulisan cerpen berbahasa Indonesia sebagai peserta Olimpiade Literasi Siswa Nasional (OLSN) tingkat Nasional tahun 2017
Komentar
Posting Komentar
Percaya diri atas hasil tulisanmu!
Plagiat karya termasuk pembodohan bangsa.
Terima kasih telah mengapresiasi tulisan saya! ^^