Setelah Kau Menikahiku
Salah satu novelet yang alur cerita dan gaya bahasanya mampu membuatku terkesan. Novelet yang kali pertama aku baca dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Kajian Cerita Pendek pada semester IV.
- - -- - - -- - - - -- - - - -- - - -- - - -- - - -- - -- - - -- - --
Setelah Kau Menikahiku
Penulis: Novia Stephani
Dipersembahkan
untuk :http://dimhad.6te.net
Puspita tak percaya pada lembaga pernikahan,
namun tantangan Idan untuk membuktikannya tak bisa ditolak. Maka mereka pun
melakukan simulasi pernikahan ….
SETELAH KAU MENIKAHIKU
Novia Stephani
Aku sungguh-sungguh tidak mengerti
kenapa orang harus menikah,” gerutuku.
Idan tertawa. “Ibumu menanyakan
calonmu lagi?”
Aku mengangguk cemberut.
“Apa jawabanmu kali ini?” godanya.
“Aku tidak menjawab. Aku langsung
meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar.”
Idan terbahak. “Kau
kekanak-kanakan,” katanya.
“Habis jawaban apalagi yang mesti
kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan alasan, kehabisan stok bohong. Dan ibuku
malah makin gencar menteror.”
Idan tersenyum. “Kau benar-benar
seperti anak-anak. Kalau kau jadi ibumu, apa kau tidak akanblingsatan kalau
anakmu belum juga menikah pada usia tiga puluh tiga.”
“Aku akan sangat gembira kalau
anakku tidak menikah seumur hidupnya,” komentarku.
Alis Idan terangkat. “Kenapa?”
“Pernikahan hanya memperumit hidup
perempuan.”
“Pernikahan juga membuat hidup
laki-laki lebih sulit.”
“Persis!” potongku. “Untuk apa
menikah kalau yang kita dapat hanya kesulitan?”
“Mungkin karena kesulitan itu
hanya efek sampingnya, sementara keuntungannya lebih banyak?”
“Sok tahu,” cibirku. “Kau sendiri
belum menikah. Apa yang kau tahu tentang keuntungan menikah.”
“Aku sudah cukup banyak belajar,
Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluh lima, kebanyakan teman-temanku sudah
berkeluarga.”
“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau
setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik tanpa perlu lagi menikah?”
Idan tersenyum. “Ya, memang.”
“Lebih enak hidup seperti ini.
Bebas!”
“Setuju. Tapi ingat, aku bukan
sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku hanya masih menunggu calon yang pas.”.
Dan aku menghela nafas panjang.
“Ah, ya. Calon.”
“Itu kan sebenarnya alasanmu untuk
tidak juga menikah?”
“Ya,” gumamku enggan.
“Bukan karena kau sama sekali
antimenikah.”
Aku menggeleng. “Jangan bilang
siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku kepingin juga digandeng seseorang saat
datang ke pesta.”
“Tapi kau bisa saja bergandengan
dengan salah satu pacarmu kan?”
“Gandengan pacar itu lemah.
Gampang putus,” komentarku pahit. “Maksudku, aku mau orang yang sama
menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.”
“Apa susahnya menggaji orang yang
mau menggandeng tanganmu ke mana-mana? Ini zaman susah. Banyak pengangguran.”
“Idan!” kuayunkan tanganku, tapi
—-begitu hapalnya ia dengan reaksiku—-ia menghindar sambil tertawa.
“Kau sadar kan kalau menikah itu
lebih dari sekadar mengontrak penggandeng tetap?” tanyanya kemudian, lebih
serius.
“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa
membayangkan menikah dengan orang yang salah. Kalau saja,” aku terdiam.
“Apa?”
“Kalau saja aku bisa yakin bahwa
lelaki itu akan tetap manis dan baik hati setelah ia berhasil menikahiku.
Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata
suami yang payah? Yang suka memukuli, mencaci maki, Menghina; orangnya pelit,
cemburuan, suka berbohong dan berkhianat.”
“Pit, laki-laki yang begitu
sedikit sekali.”
Aku menggeleng. “Semua laki-laki
binatang.”
“Bagaimana dengan aku? Aku
laki-laki.”
“Kau bukan lelaki, Dan. Kau
malaikat.”
Idan terbelalak. Didekapnya dada
kirinya dan ia terkulai di kursinya.
“Idan!” desisku. “Nanti
orang-orang memperhatikan kita!”
“Pit, kau sadar kalau aku belum
mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh dan mengajukan lamaran menjadi
malaikat,” dan ia kembali terkulai, mata tertutup, lidah terjulur.
“Idan, Idan,” desahku. “Kalau kau
memang mau menikah, berobatlah.”
Ia tergelak. “Dan kau. Kalau kau
memang mau menikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu orang saja dari
golongan laki-laki.”
“Aku tidak bisa, Dan.”
“Berarti kau memang tidak bisa
menikah. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan
merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan makin banyak. Dan kalau kau makan
banyak-banyak kau akan.”
“Idan!” walaupun nada suaraku
keras, aku tak bisa menahan senyum mendengar pernyataan konyol itu. Setelah dua
puluh tahun menjadi sahabatku, ia benar-benar telah memahamiku.
“Apa kau pernah berpikir tentang
ibumu?” katanya kemudian. Seperti biasa ia bisa menjadi sangat jenaka dan
kemudian serius hanya dalam selang waktu sepersekian detik. “Ia pasti sangat
ingin kau segera mendapat pasangan tetap. Ia akan lebih tenang kalau tahu kau
akhirnya punya seseorang yang akan menemani dan melindungimu.”
“Jangan bicara begitu,” cetusku,
kembalimanyun . “Satu, ini hidupku, bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku
sedih. Tapi kalau suamiku berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan
sakit hatiku? Kedua, aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus
diriku sendiri. Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak
pembantu, plusbodyguard kalau perlu.”
“Baik, baik, Tuan Putri. Hamba
mengaku salah,” Idan membungkuk dalam-dalam. “Jadi, dengan asumsi kau tidak
sama sekali menihilkan kemungkinan menikah, apa yang ingin kau capai dengan
itu?”
Aku tertunduk lemas. “Itulah,
Dan,” desahku. “Aku tidak tahu. Apalagi yang aku butuhkan saat ini? Aku punya
pekerjaan dengan masa depan yang lumayan. Jadi menikah untuk alasan ekonomi
jelas-jelas bukan pilihan untukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk
berbagi, jadi kesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah.”
“Bagaimana dengan keturunan?”
“Anak? Apa aku harus menikah untuk
punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi, kan? Di luar sana banyak anak-anak yang
tidak diinginkan orang tuanya. Kalau aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau
bahkan tiga dari mereka. Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah,
mempertaruhkan diriku sendiri, mengambil risiko dilukai lahir dan atau batin.
Tak ada kepastian sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan sepanjang
hidupku. Di samping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, aku akan
jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa, Dan? Untuk apa?”
Idan termenung agak lama. Akhirnya
ia menjawab. “Cinta mungkin?”
“Kau terlalu banyak menonton film
romantis,” olokku. “Kau tahu berapa lama cinta bertahan dalam suatu
pernikahan?”
“Berapa lama?”
“Satu sampai tiga bulan. Setelah
itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan imajinasi.”
“Imajinasi?”
“Kalau kau terjebak di dalam
penjara dengan lelaki yang kau benci sekaligus yang kau tahu membencimu, kau
harus membayangkan menikah dengan Richard Gere atau kau bisa jadi gila.”
“Astaga,” gumam Idan. “Kalau itu
terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau
Nicole Kidman?”
“Gorila,” jawabku sekenanya dan
Idan meledak tertawa.
“Idan,” keluhku. “Berhentilah
tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang membicarakan masalah serius, dan aku
sebal kau tertawai terus menerus.”
Wajahnya serta-merta menjadi serius. “Aku
tidak menertawaimu. Kalau kau benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku
menyikapi semua masalah, yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah.
Cobalah. Kau akan merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali
lagi, tertawalah. Tertawalah keras-keras.”
“Idan, kau benar-benar tak
tertolong lagi,” gumamku. “Aku perlu solusi, Dan. Bukan ide-ide konyol.”
Idan membisu. Dan untuk beberapa
waktu kami berdua sama-sama merenung.
Akhirnya, Idan bicara dengan
hati-hati. “Pit, aku tahu ini akan kedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa
saranku ini bisa menyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu
pada ras laki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami.”
Aku mengangguk, dalam hati
bersiap-siap untuk mempertahankan mimik seriusku walaupun ide yang akan
dilontarkan Idan nantinya ternyata kelewat sinting dan karenanya teramat sangat
kocak.
“Sebelumnya, aku ingin tanya satu
hal, dan ini sangat sangat penting, jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau
percaya kepadaku?”
Kutatap Idan dengan dahi berkerut.
Ia telah jadi sahabatku selama puluhan tahun. Banyak yang berubah dalam
hidupku, dan setidaknya enam lelaki telah hadir dan menghilang dari hidupku.
Hanya Idan yang tak berganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan
menolongku, sementarasense of humor -nya tak pernah gagal membantuku keluar
dari depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di dunia
yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan orangnya.
“Ya. Aku percaya kepadamu.”
“Kalau begitu, percayalah bahwa
yang kulakukan ini semata-mata untuk kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama
sekali tidak memiliki niat jahat terselubung di balik ideku ini. Percayalah.”
“Idan!” potongku tandas. “Ide
apa?”
“Aku ingin mengajakmu mengadakan
sebuah eksperimen,” ia bicara dengan hati-hati, kedua matanya terpancang pada
ekspresi wajahku. “Kita akan melakukan pernikahan.”
“Apa?”
“Simulasi!” lanjut Idan sesegera
mungkin. “Tentu saja lengkap dengan semua formalitasnya, lamaran, akad nikah,
kalau perluhoney moon ….”
“Bulan madu?”
Idan mengangkat tangannya menyuruhku
diam, ”Simulasi. Sekali lagi, simulasi. Setelah itu kita akan menjadi suami
istri —-simulasi—- sambil mempelajari kenapa kebanyakan manusia yang normal dan
waras begitu berambisi untuk berumah tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau
merasa yakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kita
bercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalau ternyata kau
kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau bisa cari suami yang
paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untuk melihat apa kau akan
memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa penalti. Bagaimana?”
“Idan,” desisku. “Ini ide terbodoh
yang pernah kudengar.”
“Semua gagasan jenius selalu
diolok-olok pada awalnya,” sanggah Idan mantap. “Pikirkan, Pit. Ini
satu-satunya cara supaya kita bisa belajar seperti apa pernikahan itu
sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh menikah. Kau tidak mungkin melakukannya
dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat
dipercaya dan teguh pendirian….”
“Serius, Idan, serius!”
“Dan kau sama sekali tidak
melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akan mengalami kerugian apa pun.”
“Kecuali jutaan yang harus keluar
untuk biaya pernikahan….”
“Simulasi,” Idan mengingatkan
sambil mengangkat telunjuk.
“OK. Pernikahan simulasi,”
geramku. “Dan aku akan menyandang status janda setelah kita bercerai.”
“Simulasi.”
“Idan!”
“Upit!”
“Oh, Tuhan,” aku bangkit dengan
marah dan beranjak keluar. Idan segera menjejeriku.
“Upit, kau tidak perlu semarah
ini,” katanya. “Apa aku sejelek itu di matamu hingga kau bahkan tidak mau
pura-pura menikah denganku?”
Aku berhenti berjalan dan menatap
wajahnya. Dan menggeleng. “Biarpun wajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan
tetap memujimu di depan perempuan malang manapun yang mencintaimu.”
Matanya berbinar. “Kau tidak marah
lagi, kan?”
Aku menggeleng. “Aku bukan marah
karena idemu, Dan. Aku tahu otakmu memang selalu korslet tiap kali memikirkan
jalan keluar dari suatu problem serius. Aku mengerti. Aku hanya kesal karena
kau sepertinya tidak peduli dengan masalahku.”
“Justru karena aku sangat peduli
aku mengusulkan ini, Pit,” ekspresinya tampak begitu tulus.
“Terima kasih. Tapi ide itu
memuakkan.”
“Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau
tahu kau akan segera menikah, denganku, orang yang selama ini dikenalnya sangat
baik, sopan, hormat kepada orang tua, ulet, tangguh…,” ia berhenti saat melihat
raut wajahku, “ibumu akan sangat bahagia, Pit. Pikirkan juga dirimu.”
Ia diam sejenak. “Aku janji akan
menggandeng tanganmu di setiap pesta. Di mana pun.”
Ucapannya begitu menyentuh hatiku
hingga aku nyaris menangis terharu. Kalau saja di antara bekas-bekas kekasihku
ada yang mengatakan itu kepadaku, aku pasti sudah lama sekali menikah, pikirku
sebelum menertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung,
tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya dengan Idan.
“Apa aku harus menciummu?” tanyaku
nyaris berbisik.
“Sesekali mungkin, kalau orang tua
kita diam-diam mengawasi,” matanya kembali tertawa. “Di pipi. Aku tidak akan
melewati batas. Kalau kita hanya berdua, kau bebas untuk meninjuku,
menjambakku….”
“Idan,” teguran itu lebih lembut
daripada yang kuinginkan dan Idan tersenyum.
Suaranya bergetar. “Saya terima
nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Daud dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Dan wajahnya kelihatan sedikit
pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa ia terjaga berjam-jam dalam gelap,
memikirkan lelucon terbesarnya, seperti aku yang nyalang nyaris sepanjang malam
tadi?
Ibuku meneteskan air mata
sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu Idan, walau menyaksikan dari
kursi rodanya, juga tampak bahagia. Seharusnya aku juga bahagia hari ini. Idan
juga. Mungkin dengan orang-orang lain. Tapi seharusnya aku merasa bahagia.
Bukan diam-diam mencatat seperti seorang ilmuwan yang teliti: perasaanku,
reaksi para tamu, wangi melati dan wajah Pak Penghulu.
Pak Penghulu menyuruhku menyalami
suami baruku. (Simulasi, Upit, jangan lupa itu. Suami baru simulasi.) Tangannya
dingin. Ekspresi wajahnya aneh, kedua matanya gemerlapan dengan rasa takjub,
saat aku mendongak setelah mencium jemarinya. Ia mengecup dahiku dengan
bibirnya yang yang nyaris putih. Lalu kami berdua duduk berdampingan
mendengarkan petuah Pak Penghulu, Idan menunduk menatap pantalon putihnya dan
mataku terpaku pada kain batikku.
Akhirnya kuberanikan diri untuk
berbisik, ”Kau pucat sekali.”
“Aku lapar. Tidak sarapan tadi
pagi.”
“Terlalunervous ?”
“Telat bangun. Aku nonton bola
sampai subuh.”
Aku tersenyum.
“Bagaimana aku tadi?” bisiknya.
“Meyakinkan. Berapa lama kau
latihan?”
“Hanya waktu aku berpakaian tadi
pagi. Catatan yang kau beri tercuci dengan celanaku.”
Ah, Idan, Idan. Menikah dengannya
tidak akan pernah membosankan.
Simulasi. Menikah simulasi
dengannya tidak akan membosankan, koreksiku.
Sebulan pertama Upit berusaha mengerti
kebiasaan Idan menghabiskan akhir pekan dengan memancing. Di minggu kelima dia
protes, dan mereka bertengkar. Pertengkaran terhebat yang pertama.
Tiga hari pertamaku sebagai istri
Idan —-simulasi-— kulewatkan di rumahku sendiri. Tiga hari berikutnya
dilewatkan di rumah Idan, karena kondisi ibunya, yang memang telah sangat lama
sakit, memburuk; mungkin karena ketegangan yang disebabkan persiapan acara
pernikahanku dengan Idan. Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan
sendiri. Dan setelah seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam
pajangan, malam itu kami lewati dengan tidur.
Esok paginya, aku terbangun karena
mendengar suara-suara di dapur. Aku menemukan Idan di sana, sedang mendadar telur,
sementara di atas meja terhidang nasi goreng dan sepoci kopi yang harumnya
menggoda.
“Aku ada rapat pukul setengah
delapan,” seru Idan sambil membalik dadar telurnya. “Aku mesti berangkat
sebelum setengah enam.”
Kucicipi nasi goreng buatannya.
“Aku tidak tahu kau pintar memasak.”
“Pramuka,” komentar Idan
tersenyum. Diletakkannya telur di atas meja dan ia duduk untuk sarapan. “Aku
juga pandai tali-temali, semafor, menjahit.”
“Percaya, percaya. Kalau kau mau
menangani urusan masak, aku akan memperbaiki keran dan genting bocor, plus
membabat rumput.”
Idan terbahak. “Ini hanya
sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak setiap pagi.”
“Apalagi aku. Kita perlu cari
pembantu.”
“Jangan,” Idan menggeleng. “Ia
pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar berbeda.”
“Jadi?”
Idan menggaruk kepalanya. “Bisakah
kau masak nasi tiap hari?” pintanya. “Aku punya rice cooker.”
Kutatap wajahnya. Dalam hati aku
berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah permainan. Tidakkah Idan akan jadi besar
kepala kalau aku mematuhinya? Tapi di lain pihak, kalau aku benar-benar ingin
tahu bagaimana rasanya jadi seorang istri, mungkin ada baiknya aku mengikuti
keinginannya. “Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku,
baik.”
Ia tersenyum dan beranjak dari
meja dan kembali dengan sebuah bolpoin merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di
kalender yang tergantung di dinding dapur.
“Hari pertama kita menyelesaikan
suatu masalah dengan musyawarah keluarga,” katanya saat kembali ke kursinya.
“Masih banyak detil-detil seperti
ini yang mesti kita sepakati,” lanjutnya. “Misalnya, aku ingin kau beri tahu
aku kalau kau akan pulang terlambat.”
Dahiku berkerut. “Untuk apa?”
“Apa kau tidak melapor kepada
orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?”
Aku menggeleng. “Ibuku sudah percaya
bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang
bodoh.”
“Tapi aku suamimu. Simulasi
memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau pulang terlambat.”
“Kau kedengaran seperti diktator.”
“Kurasa aku tidak minta terlalu
banyak.”
“Itu terlalu banyak untukku.”
Idan meletakkan sendoknya dan
menatapku dengan mata menyala. Aku lupa kapan terakhir kali aku melihatnya
marah. Tapi aku yakin aku tak salah membaca gelagatnya kali ini. Ia benar-benar
marah.
“Ingat,” lanjutku hati-hati. “Aku
bukan benar-benar istrimu. Kau tidak punya hak untuk mengaturku seperti itu.”
Ia menunduk lama sekali, tangannya
terkepal, buku-buku jarinya memutih. Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi
senyap. “Baik. Kalau itu maumu,” desisnya kemudian.
Kami melanjutkan sarapan dalam
diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menduga permainan itu
akan membuat persahabatanku dengan Idan memburuk. Tapi aku tak berani
mengungkapkan itu. Aku yakin Idan akan semakin berang karenanya.
Idan meninggalkan meja tanpa
mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap ke kantor. Tak lama
ia kembali menemuiku di ruang makan. “Aku pergi, Pit,” katanya dingin.
Aku bangkit dari meja
menghampirinya, berniat untuk memperbaiki situasi. “Sebagian teman-temanku
menyarankan ini,” ujarku sambil meraih tangan kanan Idan dan menempelkannya di
bibirku. “Kupikir ada baiknya kucoba. Oh, ya. Mereka bilang kau harus mencium
keningku.”
Ia membungkuk dan menyapu keningku
dengan bibirnya yang terkatup dan berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Dasar tidak tahu terima kasih!
Aku sengaja pulang terlambat malam
itu. Dalam perjalanan pulang kusinggahi suatu kafe yang belum pernah
kukunjungi, sebagian untuk memperoleh kesendirian dan sebagian untuk
menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti diberondongkan kawan-kawan yang
biasa bersamaku menghabiskan sore hari.
Perasaanku gundah. Rasa bersalah
dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu Idan telah banyak berkorban untuk
permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh ingin mempelajari bagaimana
rasanya menjadi seorang istri, mesti kuakui bahwa aku belum terbiasa menganggap
Idan sebagai suamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang sahabat. Dan seorang
sahabat tidak boleh menuntut terlalu banyak.
Mataku tertaut pada cincin emas
mungil yang disisipkan Idan di jari manisku selepas akad nikah. Ini hanya
permainan, batinku. Tapi dalam permainan ini, Idan adalah suamiku. Dan sebagai
suamiku, tuntutannya wajar. Kalau aku lantas tidak suka dengan keterbatasannya,
itu hanya satu pelajaran pertama dari permainan ini.
Kupejamkan mataku dan kutarik
napas dalam-dalam. Aku benci kekalahan. Tapi kali ini aku mengalah, bukan
kalah. Aku akan belajar satu hal dari semua ini. Bagaimana mengesampingkan
keakuan dan memilih kebersamaan. Getir memang. Aku yakin Idan akan
menertawaiku. Kalau ia tidak marah-marah dulu.
Alangkah terkejutnya aku mendapati
rumah gelap dan kosong.Sudah pukul setengah dua belas malam dan Idan belum
pulang?
Kucoba menghubungi ponselnya dan
hanya mendapati mailbox. Dengan menggunakan berbagai tipu daya, memperhitungkan
lemahnya kondisi ibu mertuaku, kutelepon rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak
kantornya, tanpa hasil. Idan tidak ada di mana-mana.
Inikah balasannya atas penolakanku
tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali!
Tapi tak urung, dengan melarutnya
malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi hingga pagi Idan tidak kembali. Ia
bahkan tidak pergi ke kantor. Aku minta izin pulang setengah jam lebih awal
dengan dalih yang dibuat-buat. Tapi saat aku tiba di rumah, Idan tetap tidak
ada. Malam itu kulewatkan di sisi telepon, berpikir untuk menghubungi polisi
dan rumah sakit.
Pukul tiga telepon berdering.
Bermacam-macam kengerian terlintas di benakku saat aku mengangkat receiver.
“Upit?”
“Idan?” jeritku. “Kau di mana?”
“Pit, aku minta maaf karena marah
dan minggat begitu saja. Boleh aku pulang?”
“Idan, ini rumahmu!” meskipun aku
tersenyum, air mata kelegaan mulai meleleh di pipiku.“Kau di mana?”
“Di luar.”
“Di luar rumah?”
“Ya. Dan aku lapar.”
“Oh, Tuhan….”
Aku lari ke luar rumah. Di gerbang
kulihat Idan berdiri di sisi mobilnya. Entah sudah berapa lama ia di sana.
“Kau keterlaluan! Aku sudah
berpikir untuk menelepon kantor polisi!” teriakku kepadanya.
“Aku juga rindu kepadamu!” balas
Idan tertawa. Dan mataku rasanya semakin perih melihat tawanya lagi.
“Di mana saja kau dua hari ini?”
“Di hotel kecil dekat kantor.”
Ia baru saja menghabiskan piring
ketiga sop buntut kesukaannya. Ia tidak berkomentar ketika melihat bahwa aku
sudah membeli semua makanan kegemarannya. Ia hanya makan dua kali lebih lahap.
“Kenapa kau akhirnya memutuskan
untuk pulang?” suaraku bergetar.
“Aku perlu baju bersih,” ia
tertawa malu. “Laundri hotel mahal sekali.”
Saat ia mencuci piring makannya,
dengan punggungnya ke arahku, ia menyambung, ”Selain itu, aku khawatir karena
kau sendirian di sini.”
Dan dadaku tiba-tiba terasa ngilu.
“Aku akan pulang terlambat besok,”
ucapku perlahan. “Aku harus lembur. Dikejar deadline.”
Ia berhenti membilas piring dan
aku tahu ia berbalik menatapku.Tapi mataku terpaku pada es krim di hadapanku.
“Oke,” katanya. “Kau keberatan
kalau aku makan malam duluan?”
“Asal kau sisakan cukup untukku,”
aku tersenyum.
Paginya kulihat lingkaran merah
kedua di kalender.
Aku bisa mentolerir kebiasaan Idan
membiarkan koran yang telah dibacanya berserakan di ruang tamu. Aku bisa
memaklumi kegemarannya nonton film action —-genre yang paling tidak kuminati,
dan sepak bola—- olahraga yang menurutku amat membosankan. Aku bahkan bisa
memaafkan kebiasaannya mengeluarkan pasta gigi dengan memencet bagian tengah
tubenya, tidak dari bawah seperti yang biasa kulakukan.
Hanya satu yang aku belum sanggup
terima. Caranya menghabiskan akhir pekannya. Setiap Minggu pagi ia berangkat
sebelum pukul enam untuk bermain sepak bola dengan teman-temannya, dan sorenya,
sekitar pukul setengah empat, ia pergi memancing. Untukku yang selalu
menghabiskan waktu luang dengan pergi dari satu galeri ke galeri lain, dari
satu pameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir dengan acara
makan-makan, kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa kupahami. Aku tak
sanggup menontonnya main bola atau menemaninya memancing, karena aku dengan
sangat cepat akan merasa jemu.
Sebulan pertama aku berusaha
mengerti. Ia selalu pulang dengan mata berbinar hingga aku tak tega mengeluh
dan protes. Tapi di pekan kelima kesabaranku tandas, dan pagi itu, saat ia
tengah memasukkan botol air minum dan kotak rotinya ke dalam tas, aku
memintanya untuk tidak memancing.
“Temani aku jalan-jalan ke mal
sore ini,” pintaku.
“Kau kan bisa pergi sendiri,”
katanya sambil memasukkan kaus bersih dan handuk kecil.
“Seingatku kau berjanji untuk
selalu menggandeng tanganku ke mana pun.”
“Aku tidak bisa mangkir memancing
hari ini, Pit,” ia masih tetap tak memandang ke arahku, sibuk dengan sepatu
bolanya. “Aku sudah janji dengan kawan-kawanku untuk mencoba tempat memancing
baru.”
“Kau bisa mencobanya minggu
depan.”
“Tadi malam tidak ada bulan, Pit.
Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini,” ia tersenyum sambil melompat-lompat
dengan sepatu bola barunya. “Aku bisa memecahkan rekor sepuluh kilo sore
nanti!”
“Minggu depan voucher diskon
salonku sudah tidak berlaku lagi,” gumamku.
“Pakai voucher dariku saja,”
sahutnya ringan sambil mulai lari-lari di tempat. “Berapa diskon yang kau dapat
dengan voucher itu? Kalau kuberi lima belas ribu cukup?”
“Idan! Itu hanya cukup untuk beli
minum selama di salon.”
“Aku bisa cukur rambut plus
dipijit plus minum kopi dengan lima belas ribu.”
“Oh, Tuhan!”
Idan berhenti berlari-lari dan
berdiri di hadapanku dengan tangan di pinggang. “Pit, kau sudah cantik begini.
Tidak perlu ke salon lagi.”
“Aku sudah cukup yakin dengan
kecantikan, terima kasih. Yang aku butuh cuma keluar dari rutinitas harianku,
dan aku memilih melakukannya dengan jalan-jalan.”
“Jadi? Apa yang kau tunggu?
Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kau bawakan aku oleh-oleh, aku akan lebih
tidak keberatan.”
“Ini bukan masalah kau melarang
atau tidak, Dan. Apa enaknya jalan-jalan sendirian? Aku perlu teman.”
“Kalau begitu ajaklah
teman-temanmu.”
“Sudah. Mereka punya acara
sendiri-sendiri. Dengan suami-suami mereka.”
Idan mengerutkan keningnya. “Kau
mau melewatkan hari Minggu denganku?”
“Ya!”
“Kenapa tidak bilang dari tadi.
Tentu saja kau boleh ikut ke lapangan sepak bola lagi. Aku akan senang kalau
kau ada di sana.”
“Idan!” jeritku. “Kau ini buta,
tuli atau imbesil sih? Kau tahu aku benci sepak bola dan lebih benci lagi
memancing!”
Mata Idan menyipit. “Dan kau tahu
aku alergi jalan-jalan ke mal,” desisnya.
“Kupikir sudah waktunya kau
mengalah sekali-sekali.”
“Mengalah!” suaranya meninggi.
“Apa aku masih kurang mengalah selama ini? Pit, kau sudah menyita enam kali dua
puluh empat jam waktuku, apa kau tidak bisa memberiku….
“Enam kali dua puluh empat? Enam
kali dua! Kita hanya benar-benar bertemu dan bicara satu jam saat sarapan dan
satu jam waktu makan malam!”
“Kita bisa mengobrol lebih banyak
kalau kau mau lebih banyak melewatkan waktu denganku! Tapi tidak! Kau lebih
memilih mengurung diri di kamar dengan Pavarotti dan Flamingo.…”
“Placido Domingo! Maaf, Dan,
waktuku terlalu berharga untuk dipakai menyaksikan orang-orang saling membunuh
tiap dua menit atau dua puluh dua orang memperebutkan satu bola kulit!”
“Setidak-tidaknya itu lebih jujur
dan bisa dimengerti dari film-filmmu yang becek air mata itu!”
“Kau kekanak-kanakan!”
“Dan kau, Tuan Putri, kau egois!”
Ia menyambar tasnya dan melangkah
lebar-lebar keluar lewat pintu samping. Aku masuk ke ruang makan dan membanting
pintu di belakangku.
Seperti inikah perasaan para istri
setelah bertengkar dengan suaminya? Dadaku sesak dan kepalaku sakit. Aku benci
menjadi cengeng, tapi air mata kecewa mulai membuat mataku pedih.Aku sama
sekali tidak mengira sesuatu seperti ini terjadi padaku. Aku tahu Idan
melakukan semua ini, simulasi ini, untukku, tapi selama ini aku tidak pernah
menuntut apa pun darinya. Sebaliknya, aku telah berkorban banyak sekali sejak
aku menikah —-simulasi—- dengannya, mengurangi jadwal clubbing-ku, pulang dari
kantor sesegera mungkin, memperhitungkan apa ia akan menyukai makanan yang
kubeli. Apa ia telah berbuat sama banyaknya untukku? Tidak!
Kubuka lemari es dan kukeluarkan
satu kotak es krim cokelat kesukaanku. Pagi itu kulewatkan di depan televisi,
menyaksikan film melankolis, air mataku kubiarkan meleleh tanpa henti, dan
sekotak es krim itu pun habis tanpa terasa.
Idan kembali pukul setengah
sebelas, masih cemberut. Ia langsung mandi dan tak lama kemudian kembali ke
ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt dan celana jins.
“Kalau kau mau ke mal, aku
sarankan kau mandi dan dandan sedikit,” katanya.
“Aku tidak mau pergi ke mal.”
“Kau bilang tadi pagi….”
“Aku tidak mau merepotkanmu. Aku
tidak mau kau gatal-gatal karena alergimu kumat.”
“Upit, kalau kita tidak pergi
sekarang, kita bisa pulang terlalu sore. Aku ada janji jam empat….”
“Aku bilang aku tidak mau ke mal!
Kau bisa pergi memancing sekarang kalau kau mau.”
“Jangan seperti anak kecil begini,
Pit,” geramnya. “Ayo!”
“Tidak! Dan kalau kau marah dan
mau minggat seperti dulu lagi, silakan!”
Meski sudah bersikap menyebalkan, Puspita
tidak berhasil membuat Idan marah. Pria itu malah bersikap sangat manis.
Wajah Idan benar-benar merah
sekarang. “Upit! Jangan main-main denganku! Aku tidak mau kau menolak pergi
jalan-jalan lalu menghukumku dengan cemberut sepanjang hari begini. Mandi
sekarang. Kita pergi setengah jam lagi.”
“Aku bukan budakmu. Jangan
suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi.”
“Oke. Terserah! Kalau kau mau
duduk di sini seharian, makan es krim dan cokelat sambil mengasihani diri
sendiri dan melar dan melar dan melar dan melar….”
“Idan!” jeritku sambil melempar
kotak es krim itu ke arahnya. Ia terlambat mengelak dan sisa es krim yang telah
mencair melumuri t-shirtnya. Aku lari ke kamarku, membanting pintunya dan
melempar diri ke ranjang, sesenggukan.
Kudengar ia memaki dan menendang
pintu. Saat itu aku takut, takut sekali. Ia seperti telah menjadi manusia lain
yang tak kukenali sama sekali, asing dan mengerikan. Kututup telingaku dengan
bantal dan aku terus menangis hingga tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang
berat memaksaku tertidur kelelahan.
Sorenya aku keluar
mengendap-endap. Idan pasti telah pergi memancing. Memikirkan bahwa ia pergi
sementara aku masih menangis karena kata-kata kasarnya membuatku makin marah
kepadanya. Kali ini aku yakin tak ada pilihan lain kecuali meninggalkannya dan
kembali ke rumah orang tuaku. Maka selesai mandi aku segera memasukkan semua
pakaianku ke dalam kopor. Saat itu Idan datang. Ia kedengaran sangat gembira,
bersiul-siul sejak ia memasuki pintu gerbang. Siulannya berhenti saat ia
melihat koporku dari pintu kamar yang terkuak.
“Apa-apaan ini, Pit?” tanyanya.
“Aku pulang ke rumah Ibu.”
Ia masuk dan duduk di atas
kasurku, mengawasi gerak-gerikku. “Semudah ini kau menyerah?”
“Ini di luar dugaanku.”
“Apa?”
“Aku tidak mengira aku menikahi
monster.”
Idan terdiam, menunduk.
“Aku…,” katanya lirih. “Aku bawa
pizza kesukaanmu.”
“Aku sudah terlalu gemuk.”
Ia menggeleng dengan ekspresi
bersalah, ”Tidak. Kau cantik.”
“Aku tidak butuh pendapatmu. Kau
bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak punya arti apa-apa.”
“Aku sudah mencoba jadi suami yang
baik.”
“Kau gagal.”
“Setidaknya aku mencoba. Kau … kau
tidak melakukan apapun supaya pernikahan kita berhasil….”
“Simulasi.”
Ia menghela napas panjang dan
mengangguk singkat. “Simulasi.”
“Kau salah, Dan. Aku sudah
melakukan terlalu banyak. Sudah belajar terlalu banyak. Dan aku sudah mengambil
keputusan.
Aku tidak akan menikah. Aku tidak
suka menikah. Apalagi denganmu.”
Ia tak mengatakan apa-apa, lama
sekali. Ketika ia keluar dari kamarku, aku ambruk ke atas tempat tidur. Semua
topeng ketegaranku hancur berkeping-keping. Aku tak pernah menduga Idan bisa
menyakitiku sehebat ini. Lama kemudian. setelah aku bisa sedikit menguasai
diri, aku bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret koporku keluar.
“Setidaknya tunggulah sampai hujan
reda,” suara Idan menyambutku.
“Terlalu lama,” gumamku. “Aku
tidak bisa tinggal denganmu selama itu.”
Aku tak peduli hujan yang serta
merta mengguyurku basah kuyup saat aku membuka pintu gerbang. Meninggalkan Idan
secepatnya, hanya itu yang ada di benakku. Dan ketika mobilku mulai tersendat
terendam genangan air hujan hanya lima puluh meter dari rumah, aku begitu
berang dan putus asa hingga aku keluar dari mobil dan menendang pintunya,
meninju atapnya, air mataku larut dalam siraman hujan.
Saat itu aku melihat Idan datang.
Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut kunci mobilku dan mengunci mobil itu dari
luar.
“Ayo pulang,” katanya.
Aku menggeleng tanpa berani
menatap wajahnya.
Dan ia mengangkatku, menggendongku,
tanpa menghiraukan perlawananku. Ia membopongku sampai ke rumah, tak memberiku
kesempatan untuk melarikan diri. Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan
menyimpan kuncinya di saku.
“Ganti bajumu,” katanya.
“Semua bajuku di dalam kopor.”
“Ambil bajuku.”
“Tidak akan pernah!”
Ia mencengkeram pergelangan
tanganku dan menatapku lurus dengan mata berkobar,”Ini bukan waktunya
melawanku, Pit. Kau bisa sakit!”
“Monster,” desisku.
Malam itu suhu tubuhku menanjak
naik, kepalaku sakit dan tenggorokan nyeri. Aku masih ingat saat Idan
menyuruhku menelan sebutir tablet penurun panas dan aku membangkang. Ketika
abangku datang untuk memeriksa keadaanku, aku masih bisa menangis dan merengek
minta diantar pulang ke rumah orang tuaku. Setelah itu semuanya kabur.
Kesadaranku kembali dalam
kelebatan-kelebatan singkat. Ketika aku terjaga dan menemukan Idan tengah
mengganti kain kompres di dahiku, sentuhannya begitu sejuk dan menenteramkan.
Ketika aku tiba-tiba tersentak dari salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan
tengah membersihkan ceceran muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari
tidurku yang gelisah dan merasakan tangannya erat menggenggam jemariku.
Hingga akhirnya, entah setelah
berapa lama, aku terbangun dan nyala api dalam kepala dan dadaku telah padam.
Jendela kamarku terbuka dan cahaya matahari hangat menerobos masuk, membawa
aroma melati dari rumpun di luar kamarku. Ibuku tengah duduk di dekat jendela,
membaca.
“Ibu.”
Ibuku menurunkan korannya.
Senyumnya mengembang saat ia menghampiriku. “Bagaimana? Sudah enakan?”
“Idan mana?” bisikku. Ah,
pertanyaan bodoh. Mungkin seharusnya aku bertanya di mana aku sekarang atau
setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa pertanyaan pertamaku harus tentang Idan?
rutukku pada diri sendiri.
“Masih di kantor. Sebentar lagi
juga pulang.”
Aku sakit dan dia pergi ke
kantor.Suami teladan.
“Ibu sudah berapa lama di sini?”
“Dari pagi. Kau tidak ingat ibu
datang pagi tadi?”
Aku mencoba menggeleng dan
kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yang paling menyakitkanku adalah, Idan
sama sekali tak peduli aku sakit. Aku berbalik dan memejamkan mata. Air mataku
yang panas luruh satu-satu.
Sore itu ketika Idan pulang, aku
berpura-pura tidur. Aku sama sekali belum siap untuk bicara lagi dengannya.
“Bagaimana, Bu?” tanyanya, suaranya mendekati tempat tidurku. Dan kemudian
tangannya hinggap di dahiku, sejuk dan membawa ketenangan. Dengan punggung
tangannya ia menyentuh leherku,
dan kalaupun aku sanggup menepiskan tangannya dengan tenagaku yang nyaris
nihil, aku tak akan mau melakukannya.
“Tadi bangun sebentar, menanyakan
kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya sudah turun dan tadi siang sudah mau minum
susu.”
Tangan Idan berpindah ke bahuku
dan mulai memijat dengan lembut. Jangan berhenti, jangan berhenti, jangan
berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia bangkit dan merapikan selimutku sambil
terus bicara dengan ibuku.
“Kalau Ibu capai, Ibu bisa ambil
cuti besok.”
Ibu tertawa kecil. “Kau sendiri?
Kau tidak tidur entah berapa malam dan kau mengerjakan semuanya. Mencuci,
membersihkan rumah, mengurus Upit. Apa kau tidak capai?”
“Saya pakai baterai Energizer,
Bu.”
Ibu tertawa lagi, ”Idan, Idan. Kau
mesti istirahat juga. Kalau kau sakit, Ibu tidak yakin Upit bisa mengurusmu
sesabar kau merawat dia.”
Ibu! Idan itu hanya menantu Ibu!
Cuma simulasi pula!
“Sudah tanggung jawab saya, Bu.”
Alangkah klisenya!
Sunyi. “Kau betul-betul tidak
butuh bantuan Ibu?”
“Terima kasih. Kalau ada apa-apa,
saya pasti telepon Ibu lagi.”
“Baik kalau begitu. Kau tinggal
menyuapinya nanti malam, jangan lupa obatnya. Kalau ia mau, ibu sudah masak
bubur di dapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia mau.”
“Ya, Bu.”
“Dan jangan tidak tidur lagi nanti
malam. Upit sudah baikan.”
“Baik, Bu.”
Dan saat itu juga aku bersumpah
akan membuat malam itu mimpi buruk untuknya.
Aku ingin menghukumnya karena
kata-katanya yang menyakiti perasaanku. Aku ingin menghukumnya karena ia
melukai harga diriku. Dan aku ingin menghukumnya karena ia membuatku benci pada
diriku sendiri. Ia yang membuatku sakit dan entah berapa lama tak berdaya, bahkan
terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi. Ia harus membayar untuk semua
penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya.
Aku membuat segalanya sangat sulit
untuk Idan malam itu. Aku memberontak saat ia mencoba menyuapiku. Aku menolak
saat ia memintaku makan obat. Aku memintanya membuka jendela karena aku
kepanasan, lalu menutupnya lagi, karena aku kedinginan, lalu membuka lagi,
menutup lagi entah berapa belas kali. Aku memintanya membuatkanku susu
yang tidak kuminum, merebuskan mi
instan yang tidak kumakan, menyiapkan roti yang kubuang ke lantai, mengupaskan
apel yang kubiarkan di meja hingga berubah coklat dan memasakkan omelet yang
hanya kucuil sedikit. Pijatannya di kakiku terlalu keras, terlalu lembek,
terlalu kasar, tidak terasa. Dan saat ia mulai terkantuk-kantuk di kursi, aku
membangunkannya untuk menyalakan televisi agar aku bisa menyuruhnya mengganti
saluran tiap kali ia mulai mengangguk terlelap.
Semua itu akan membuatku sangat
puas kalau saja Idan mau menolak, memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan
memakiku seperti dulu. Tapi ia sama sekali tidak mengeluh, tidak membantah.
Kesabarannya merusak segalanya. Makin lama aku makin menyadari kelembutan dalam
suaranya -- yang hanya bisa lahir dari kekhawatiran -- dan kelelahan di matanya
-- yang aku tahu hanya bisa datang dari keputusasaan. Aku dibuatnya merasa
bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya sendiri,
menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dan
kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali tak
kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan.
Menjelang fajar, saat mengawasinya
tertidur meringkuk di kursi, aku mengingat lagi pertengkaran yang menerbitkan
kebencian itu. Aku mengulang lagi setiap kalimat yang kuucapkan, dan aku
tiba-tiba merasa malu. Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu
seremeh itu. Selama dua puluh tahun persahabatanku dengan Idan, hobi dan
kegemarannya tak pernah membuatku merasa terganggu. Masih banyak hal lain yang
menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa melupakan itu dan membiarkan
kemarahan sesaat membutakanku?
Aku tahu permintaanku wajar. Aku
tahu aku berhak meminta Idan menemaniku ke mana pun. Dan ia juga sama
bersalahnya denganku karena mengobarkan pertengkaran konyol itu. Hanya saja ia
lebih berbesar hati untuk menyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru
memupuk dendam dan benci padanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam kontes
kedewasaan ini?
Ketika aku terbangun esok paginya,
Idan menyambutku dengan baki sarapan pagi dan senyum lebar. Ia membantuku ke
kamar mandi dan aku tidak memprotes ketika ia memintaku untuk tidak mengunci
pintu. Ia telah menyediakan bangku di dekat wastafel agar aku tak perlu berdiri
saat menggosok gigi. Di rak ia telah menyediakan pakaian bersih untukku dan
bahkan meletakkan bedak dan sisirku, hingga saat aku keluar dari kamar mandi,
aku merasa jauh lebih segar dan hidup. Ketika aku kembali ke kamar, aku melihat
spreiku telah diganti, mejaku telah rapi kembali dan bunga di dalam vas di
dekat tempat tidurku telah diganti
dengan yang baru. Ketika Idan
duduk di pinggir ranjangku, menambahkan gula pada susu cokelatku dan
mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hampir menangis karena terharu.
“Kau tidak ke kantor?” tanyaku
mencoba membuka percakapan; kata-kata ramah pertama yang kuucapkan padanya
setelah pertengkaran kami.
“Ini hari Minggu, Pit.”
“Aku sudah sakit selama seminggu?”
bisikku tak percaya.
“Ya,” Idan tersenyum. “Tapi aku
senang kau sudah sembuh sekarang. Aku tidak bisa tenang di kantor
memikirkanmu.”
“Ibuku kan di sini.”
“Ya. Aku terpaksa memintanya
datang. Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanku minggu lalu. Maaf.”
Aku menunduk, bersembunyi dari
ketulusan di matanya. Kulirik jam di atas mejaku. Pukul setengah delapan pagi.
“Tidak main bola?”
Ia menggeleng sambil mengolesi
sepotong roti lagi dengan selai nenas. “Aku mau memberi kesempatan pada Agus.
Sudah dua bulan dia cuma duduk di bangku cadangan.”
Aku tersenyum.
“Dia kurang berani menyerang.
Tidak segesit aku. Maklum sudah agak gemuk. Tapi, siapa tahu,” ia mengangkat
bahu dan tersenyum.
“Kau mau pergi memancing nanti
sore?”
Ia menggeleng lagi.
“Kenapa?”
“Aku harus memberi kesempatan
ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalau kutangkapi terus, mereka bisa punah.”
“Kalau kau memancing lagi, tolong
sampaikan terima kasihku kepada mereka, ya.”
“Terima kasih untuk apa?”
Untuk menunjukkan sisi lain dari
Idan yang tidak kuketahui sebelumnya, batinku. Tapi yang keluar dari mulutku
adalah, ”Karena meminjamkanmu untukku hari ini.”
Senyum Idan serta merta surut.
Diulurkannya tangannya dan disentuhnya lenganku. “Lain kali kalau kau ingin
kuantar ke manapun, bisakah kau bilang minimal sehari sebelumnya? Bukannya aku
tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji dengan teman-temanku, aku tidak bisa
begitu saja membatalkannya kan?”
Aku mengangguk dengan leher
tersumbat.
“Aku juga janji tidak akan sering
nonton film action lagi,” katanya kemudian. “Kita memang perlu ngobrol lebih
sering. Jangan menangis, Pit Nanti air jerukmu asin.”
“Selamat ulang tahun, Pit.”
Aku terlonjak duduk dan menyalakan
lampu. “Idan! Untuk apa kau sepagi ini di kamarku!”
“Memberimu selamat ulang tahun,”
jawabnya polos. Dan ia bangkit dari kursinya di sisi tempat tidur dan menarikku
hingga berdiri. “Ayo! Aku mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!”
Ia menyeretku ke ruang kerja dan
menyuruhku duduk di depan komputerku. Ada dua komputer di ruangan itu, satu
milik Idan, yang sarat dengan berbagai programming software yang digunakannya
untuk bekerja. Dan satu lagi milikku, lebih sederhana dan tidak secanggih milik
Idan.
Idan menyalakan komputerku dan
duduk di sebelahku dengan mata berbinar. Sambil tersenyum geli, aku mencoba
menebak apa yang telah disiapkan Idan untukku. Pisi? Personal website, dengan
foto dan lagu? Aku menggeleng dalam hati, Idan tidak cukup romantis untuk itu.
“Kau lihat?” Idan memotong
renunganku.
“Apa?”
“Hadiahku.”
Keningku berkerut. Tidak ada yang
berbeda dengan tampilan komputer itu. Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik
tombol Start. Tidak ada yang berubah. Tapi Idan kentara sekali menjadi semakin
antusias. Setelah membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun,
aku berpaling kepada Idan dengan ekspresi tak berdaya.
“Kau tidak menemukannya?” tanya
Idan, dengan setitik kecewa dalam suaranya.
Aku menggeleng.
“Aku menambah memori komputermu,”
akunya kemudian. Dan melihat raut wajahku yang tak berubah, menambah.
“Komputermu sekarang bisa bekerja
lebih cepat.”
Aku ingin sekali berbagi
kegembiraannya. Ia kelihatan begitu bangga dengan hadiahnya, setidaknya
beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar bahwa aku kecewa. “Oh,” hanya itu
yang bisa kukatakan. “Terima kasih.”
“Kau boleh memelukku kalau mau,”
katanya tersenyum dan membentangkan kedua tangannya. Kupukul lengannya dan
tertawa. Dan pagi itu berlalu seperti hari-hari kemarin.
Di kantor teman-temanku
menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum pernuh arti. Ketika aku memasuki
ruang kerjaku, aku mengerti kenapa mereka tampak seperti
menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada
sebuah kotak panjang dengan tutup selofan. Setangkai mawar putih. Sesaat
jantungku rasanya berhenti berdenyut.
Hati-hati kuambil kartu yang
menempel pada kotak itu, lupa seketika kepada teman-temanku yang pasti
mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.
Selamat ulang tahun. Masih
ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu di tempat biasa.
Mungkinkah?
Aku keluar untuk makan siang lebih
awal, mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal ampun.
Pram berjanji akan membahagiakan Puspita. Tapi
sayang semuanya sudah terlambat. Dia sudah menikah, sekalipun hanya simulasi.
Dalam perjalanan aku kembali
memikirkan mawar putih itu. Sejak aku melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari
Idan. Idan mustahil bisa seromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu pernah
dan selalu memberiku mawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak pernah
kubayangkan bisa dan akan kembali. Tapi pesan itu?
Restoran itu masih seperti yang
kukenang. Sederhana dan tidak mencolok di bagian luarnya; tetapi begitu aku
masuk, aku menemukan kedamaian dan ketenangan dalam interiornya yang lapang dan
asri, dengan kolam-kolam kecil berisi teratai merah jambu dan putih serta suara
gemericik air terjun buatan di sepanjang satu dindingnya.
Tidak ada yang berubah. Dan meja
nomor lima itu masih sedikit di sudut, terhalangi serumpun gelagah. Ketika aku
menghampiri meja itu, aku tidak lagi merasa sebagai Puspita yang berusia tiga
puluh empat tahun, yang dewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua
puluh tiga tahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja itu
harusnya seseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian hatiku
mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali lagi.
Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga aku sulit memisahkan kini dan
saat itu.
Apalagi saat lelaki di meja itu
bangkit menyambutku, menggenggam tanganku dan mengucapkan namaku. “Ita,”
kelembutan suaranya masih seperti yang kuingat. Dan wajahnya, walau mulai
sedikit berkerut, masih persis seperti yang kukenang. “Kau datang.”
“Halo, Pram,” sapaku sembari duduk
di hadapannya, tak melepaskan mataku dari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan
rasa rindu yang lama tak pernah kugubris, dahaga yang bertahun-tahun tak
kuizinkan untuk ada. Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi
kurasakan tentang siapa pun juga. Menggelikan sekali kalau seorang perempuan
seusiaku masih demikian terguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.
“Terima kasih mawarnya,” ujarku,
sedatar yang mampu kulakukan. Sayangnya getaran di suaraku membeberkan
semuanya.
“Kau masih ingat.”
“Aku tak bisa lupa, meski mau
sekalipun,” katanya tersenyum.
“Kapan kau pulang?”
“Tadi pagi.”
“Dengan anak istrimu?”
Pram tertawa kecil. “Ini agak
memalukan. Tapi aku masih sendiri, Ita.”
Jawabannya begitu mengejutkanku
hingga sesaat aku tak tahu harus mengatakan apa.
“Aku tidak bisa membayangkan
menikah dengan siapa pun selain denganmu,” senyumnya padam dan di matanya
bergelora lagi pesona yang pernah dan mungkin masih bisa meluluhkan hatiku.
“Sepuluh tahun aku mencari, dan aku tetap tak bisa menemukan penggantimu.”
Aku menunduk, bibirku terkatup
erat. Sepuluh tahun lalu, di tempat ini juga, ia melamarku, dan aku menolak.
Aku tak bisa membiarkan peluang karier yang telah susah payah kurebut
tersia-sia begitu saja, bahkan untuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi.
Aku tak bersedia hanya menjadi bayangannya, terperangkap dan layu di negeri
asing, walau ia adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi. Di
awal perpisahan surat-suratnya datang dengan teratur, tak satu pun kubalas.
Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yang semua
kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai suatu hari tidak ada lagi kartu
yang datang. Dan dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelaki sesempurna Pram
pun suatu ketika akan melupakanku.
“Kau sendiri bagaimana, Ta?”
“Aku sekarang editor senior,”
jawaban itu terdengar menyedihkan, hampa makna. Apa artinya seuntai jabatan di
sisi… cinta? Kesetiaan?
“Selamat!” ia kedengaran tulus,
tapi di hatiku kata itu menyakiti. “Aku selalu yakin kau yang terbaik untuk
pekerjaan itu.”
“Kau pernah ingin merenggutku dari
ini semua,” ujarku lirih. Apa jadinya kalau dulu kukatakan “ya”? Sepuluh tahun
bersama Pram, seperti apa?
Ia menggeleng. “Aku hanya
memintamu memilih.”
Matanya tertambat pada cincin di
jari manisku. Suaranya pelan saat ia bertanya, ”Kau sudah menikah?”
Aku mengangguk. Ia tertawa kecil,
agak gugup. “Siapa?” tanyanya lirih.
“Idan,” jawabku kaku.
“Idan? Irdansyah temanmu?”
“Sahabatku.”
“Sahabatmu,” desahnya. “Sudah
berapa putramu?”
Aku menggeleng. “Belum ada,”
bisikku.
Pram menatapku lekat. Dua kali ia
tampak seolah akan bicara, tapi setiap kali, ia berhenti. Akhirnya, dengan
senyum kecil ia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari sakunya.
“Aku…,” dibukanya kotak itu. “…Aku
sendiri menganggap diriku gila, karena membawakanmu ini. Tapi, Ta, maaf kalau
aku terus-terang seperti ini, di benakku kau masih Ita-ku yang dulu. Aku tahu
dalam sepuluh tahun segalanya bisa terjadi dan kau pasti sudah menikah. Tapi….”
Dikeluarkannya sebuah gelang
mungil berhias batu-batu semi-mulia. Aku terkesima.
“Aku tahu kau suka perhiasan
antik. Ada kenalanku yang membuka toko barang antik di Muenchen. Aku membeli
ini darinya,” tanpa meminta izinku, ia telah memasangkan gelang itu di
tanganku.
“Terima kasih,” gumamku terpesona.
“Cantik sekali.”
“Kau suka?”
Aku mengangguk. Dan teringat lagi
hadiah ulang tahun dari Idan. “Kau…. Sebetulnya kau tidak perlu repot-repot…,”
suaraku keluar dengan susah payah.
“Sebetulnya aku mau membawakanmu
karpet antik yang aku yakin akan membuatmu tergila-gila. Aku sudah membelinya
karena itu mengingatkanku padamu. Setiap kali aku berbelanja barang antik aku
tak bisa tidak mengingatmu,” ia tertawa kecil. “Tapi aku tidak bisa membawanya
ke sini. Bawaanku sudah banyak sekali. Ibuku memesan oleh-oleh untuk semua
sanak famili dalam radius dua ratus lima puluh kilometer.”
Aku tersenyum kecil. Tapi dalam
benakku berkelebat pertanyaan demi pertanyaan. Apakah Idan tahu hadiah seperti
apa yang akan membuatku bahagia?Apa ia mengenal selera dan kegemaranku? Aku
menggeleng dalam hati. Tidak. Tidak.
Pram masih bicara panjang lebar
tentang bisnis yang dilakukannya di Jerman. Aku kembali diingatkan tentang
kecerdasan dan keluasan wawasannya. Apalagi sepuluh tahun berada di negara lain
telah menjadikan Pram yang dulu kukenal lembut dan peka, semakin lapang hati
dan terbuka. Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua itu hanya
menjadikannya sempurna. Dan pikiran itu menorehkan nyeri di hatiku. Sudah
terlambat, sambatku kepada diri sendiri.
Ia bercerita tentang barang-barang
antik yang juga jadi salah satu kegemarannya. “Kalau saja kau bersamaku, Ta,”
katanya dengan mata berbinar. “Kita bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa
mencari barang antik….”
Ia melihat ekspresi wajahku dan
berhenti bicara. “Maaf,” katanya sejenak kemudian.
“Aku harus kembali ke kantor,”
gumamku kaku.
“Baiklah. Mau kuantar?”
“Aku ada mobil.”
Ia menahan tanganku saat aku
hendak berdiri. “Ita, aku tahu semuanya berbeda sekarang. Tapi, kalau kau tidak
keberatan, bisakah kita bertemu lagi sekali-sekali selama aku di sini? Aku
perlu teman yang bisa mengantarku jalan-jalan mengunjungi galeri dan art shop.”
Undangan yang sangat menggoda,
yang memenuhi benakku serta merta dengan masa lalu dan janji akan sesuatu yang
lebih istimewa lagi, kalau saja aku bisa mengucapkan ya.
Pram membaca keraguanku dan sesaat
sorot matanya meredup.
“Kita bisa jalan-jalan bertiga,
kau, Idan dan aku,” katanya. “Aku tidak punya banyak teman di sini.”
“Aku pikir-pikir dulu,” jawabku
cepat-cepat, sebelum hatiku dikuasai kehausan untuk berlama-lama dengan Pram.
Pram merogoh sakunya dan
mengeluarkan sebuah kartu nama. Di belakangnya ia menuliskan sederet nomor.
“Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku menunggu.”
Malamnya aku berbaring di kamar,
menatap kartu itu lekat-lekat seperti gadis belia yang sedang mabuk kepayang.
Aku bukan remaja lagi dan seharusnya aku lebih bisa menguasai diriku sendiri.
Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Pram membangunkan lagi
semua harapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. Tapi masih adakah
kemungkinan antara aku dan Pram? Ia mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau
aku telah menikah dan segalanya telah berakhir. Yang ia tidak ketahui, pernikahanku
dengan Idan hanya sebuah permainan yang bisa kusudahi kapan pun aku mau. Tapi,
kalau pun ia tahu, apakah segalanya akan berbeda? Apa pendapatnya kalau aku
menceritakan semua padanya?
Aku ingin tidak memikirkan Pram
lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya mustahil terjadi.Tapi, hidup dengan Idan
seperti ini selamanya juga tidak mungkin. Semua ini hanya sandiwara yang akan
berakhir, cepat atau lambat. Apakah kembalinya Pram suatu kesempatan kedua yang
semestinya kuraih karena mungkin tidak akan pernah ada lagi? Tapi bagaimana?
Kiriman bunga kedua datang dua
hari kemudian.
Aku memikirkanmu.
Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa
menghapuskan senyum, mata, wajah dan suaranya dari benakku?
Kotak mawar yang ketiga datang di
akhir pekan.
Maaf kalau kau menganggapku
lancang karena terus mencintaimu. Tapi bisakah kau menghentikan badai?
Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa
membendung gemuruh di hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu
mustahil.
Sore itu, sebelum aku pulang,
kutekan nomor yang sudah kuhapal di luar kepala itu. “Kalau kau ada waktu, kita
bisa melihat pameran lukisan di galeri baru dekat kantorku.”
“Kau yang menentukan apa aku punya
waktu atau tidak, Ita.”
Dan esok harinya kuhabiskan
bersama Pram, mendiskusikan lukisan dan benda seni, sesuatu yang lama ingin
kuulangi lagi. Aku tak bisa memungkiri betapa menyenangkannya bercakap-cakap
dengan Pram, membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung saat
bersama Idan. Setelah lama membicarakan masalah seni rupa, Pram tiba-tiba
bertanya.
“Kenapa kau menikah dengan Idan?”
“Kenapa kau bertanya?”
“Seingatku, ia bukan tipemu.”
Aku tertunduk.
“Kenapa, Ita?”
“Idan mencintaiku,” bisikku pelan.
“Apa kau mencintainya.”
Kebisuanku memberinya jawaban.
“Apa kau bahagia?” lanjutnya
lirih.
Kutatap matanya yang teduh dan
hangat. “Ya.”
“Jangan berbohong.”
“Idan suami yang baik.”
“Tapi apa kau bahagia?”
Bagaimana mengatakan bahwa aku
tidak pernah merasa sebahagia saat itu, melewatkan waktu bersamanya?
“Berapa lama kau menikah dengan
Idan?”
“Setahun.”
“Maaf kalau ini menyinggung
perasaanmu. Tapi apa kau menikahinya karena terpaksa? Karena usia dan….”
“Stop.”
Aku bangkit dan meninggalkannya.
Maafkan aku kalau perasaanmu
terluka karena pertanyaanku. Tapi bisakah kau renungkan perasaanku sendiri?
Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahu pernikahan tidak membuatmu bahagia?
Kartu itu bergetar di tanganku dan
tulisannya kabur dalam genangan air mataku.
“Ita,” tanya sekretarisku yang,
entah kapan, telah memasuki ruangan. “Ada apa?”
“Tidak apa-apa,” bisikku, mencoba
mengendalikan diri. “Tolong keluar sebentar. Aku harus menelepon Idan.”
Begitu ia keluar, dengan sangat
enggan kudial nomor kantor Idan. Aku tiba-tiba sadar bahwa sejak menikah
dengannya aku tak lagi pernah mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal
yang menyangkut hati dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan
masukannya, seperti dulu, sebelum ia menjadi suami simulasiku.
“Idan.”
“Upit? Ada apa pagi-pagi begini?”
“Aku …. Kau tahu …,” aku terbata.
Bagaimana mulai menceritakan kepada suamiku -- walaupun hanya simulasi -- bahwa
aku sedang dirundung kasmaran kepada lelaki lain? Idan tidak akan marah, aku
tahu. Dia tidak berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya mudah. Ia
bukan lagi sekadar seorang sahabat tempat curahan keluh kesah dan semua
masalahku. Ia adalah suamiku, simulasi atau bukan sekalipun. Dan menceritakan
hal seperti kartu dari Pram dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak pantas
dan kejam untuk dilakukan.
“Ya?” desak Idan.
“Aku.... Idan, kau kenal Indri,
kan?”
“Sekretarismu? Tentu.”
“Bekas pacarnya yang pilot itu
kembali.”
“Lalu?”
“Sekarang mereka sering bertemu.
Suami Indri tidak tahu, tentu. Tapi sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh
cinta lagi dengan bekas pacarnya itu. Dan si bekas pacar ini pun ingin menikahi
Indri.”
“Tapi Indri sudah punya anak dua
kan?”
“Ya. Tapi menurut si pilot ini,
anak bukan masalah. Mereka boleh memilih untuk tinggal dengan siapa.”
“Lalu apa hubungannya semua itu
denganmu?”
Aku menghela napas. “Indri
bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku tak bisa menjawab.”
“Dan kau bertanya pada pak gurumu.
Baik. Eh! Tunggu sebentar,” meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku bisa
mendengarnya berteriak kepada seseorang di ujung sana, “Tunggu sebentar, ini
istriku! Ya, mulailah dulu. Aku menyusul.” Istriku. Aku istrinya. Istrinya. Dan
jantungku rasanya melesak ke dalam bumi.
“Maaf. Mereka benar-benar tidak
bisa apa-apa tanpaku …,” suara Idan kembali di telepon.
“Karena kau yang membuatkan kopi?”
“Kau!” ia tertawa, lalu segera
kembali serius. “…Kupikir Indri dan pacarnya terlalu egois. Mereka tidak bisa
lagi hanya memikirkan keinginan mereka sendiri. Ada suami Indri dan
anak-anaknya yang juga harus diperhitungkan.”
“…Tapi kalau Indri tidak bahagia
lagi menikah dengan suaminya, apa perkawinan itu harus dan bisa dipertahankan?”
“Sebaiknya kau tanya Indri, apa
dia benar-benar mencintai bekas pacarnya itu, atau mereka hanya terpesona
dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka benar-benar saling membutuhkan atau
mereka hanya ingin mengulang keindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau hanya
itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, karena Indri
dan pacarnya sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa, bukan
lagi remaja yang masih hijau.”
“Indri bilang dia hanya mencintai
lelaki itu, bukan suaminya. Ia tidak pernah mencintai suaminya.”
“Kalau begitu kenapa dulu ia
menikah?”
“Keadaan.”
“Maksudnya?”
“Adik-adiknya sudah ingin menikah
semua, tapi orang tuanya tidak mengizinkan karena mereka tidak mau Indri
dilangkahi.”
“Astaga. Kasihan sekali.”
“Jadi bagaimana?”
Idan diam sejenak. “Aku tidak
tahu, Pit. Yang aku tahu, aku tidak mau jadi penyebab ketidakbahagiaan
seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk meninggalkan pacarnya, siapa tahu ia
tidak akan pernah bahagia karena merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau
ia meninggalkan suaminya, aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang
yang hanya mengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti suaminya.”
“Lantas aku mesti bilang apa?”
“Sampaikan saja petuahku ini
kepada Indri. Bilang saja ini saran dari pakar pernikahan kelas dunia yang
reputasinya tidak diragukan lagi.”
“Kau sama sekali tidak membantu,”
desahku.
“Ini bukan keran bocor atau teve
rusak yang bisa diperbaiki begitu saja, Pit. Sedangkan memperbaiki teve rusak
saja aku menyerah, jangan lagi mengurusi rumah tangga orang.”
“Bodohnya lagi, aku bertanya
kepadamu.”
“Itulah, Pit. Aku sendiri heran
kenapa aku mau membuang waktuku dan terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu
saran yang tak berguna.”
Aku tertawa pahit. “Ya, sudah.
Pergilah buat kopi sekarang. Terima kasih untuk saran dan waktumu.”
“Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku
harus pergi. I love you, Darling!” ia berteriak. Lalu kudengar suaranya,
sedikit jauh dari telepon. “Iya, Pak, sebentar. Istri saya ….”
Kututup telepon, tiba-tiba merasa
begitu dingin dan sendiri.
Pilihan yang sulit: Idan atau Pram?
"Kita tidak bisa bertemu lagi
Pram,” ujarku kepada Pram di telepon. Separuh jiwaku rasanya terbang dan hilang
saat kata-kata itu kuucapkan.
“Kenapa? Idan melarangmu?”
“Dia tidak tahu apa-apa.”
“Kenapa kau terus memikirkan dia,
Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau sudi menghabiskan hidupmu dengan orang
yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau bisa mendapatkan semuanya?”
Kugigit bibirku saat setetes air
bergulir di pipiku.
“Ita, akuilah. Aku menemukan
separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baru akan lengkap denganku. Selama ini, aku
sendirian dan kau dengan Idan, hidup kita hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita
baru akan memulai hidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya
apa-apa, Ta, tidak juga masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya ….”
“Hentikan,” potongku dengan suara
bergetar.
“Kalau kau minta aku untuk
berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang waktu dan tenaga.
Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidupku dan
hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti
sampai kau kembali denganku.”
“Aku tidak bisa ….”
“Kenapa tidak?”
Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini
hanya sebuah permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap hanya sekadar
sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali memutuskannya?
“Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau
berbeda dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya.
Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak
akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan
perempuan yang mencintai lelaki lain.”
“Aku ….”
“Akuilah, Ta, kau mencintaiku.
Kebersamaan kita adalah takdir.”
Kututup mikrofon dengan tanganku
dan menghela napas panjang. Seluruh tubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan
dunia seperti berputar makin cepat. Kupejamkan mataku.
“Aku tidak mencintaimu,” gumamku.
“Lebih keras lagi.”
“Aku tidak mencintaimu.”
“Kau berbohong.”
Lama sekali aku terdiam sebelum
akhirnya sanggup mengucapkan, ”Ya.”
“Ita,” suara Pram gemetar. “Aku
berjanji untuk selalu membuatmu bahagia.”
Aku tahu sejak awal bahwa
permainanku dengan Idan akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi hatiku tetap
enggan berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus bicara padanya tentang
perpisahan. Aku sadar bahwa Idan sendiri tidak berhak dan tidak mungkin
menghentikanku. Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan keputusanku itu,
karena akhirnya ia bisa membenahi hidupnya sendiri lagi. Mustahil ia akan
menolak berpisah denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan
ingin aku bahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Pram adalah
yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh
Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku harus
segan menyampaikannya pada Idan?
Mula-mula aku berjanji kepada
diriku sendiri untuk mencari waktu yang tepat. Tapi saat itu tak pernah datang.
Setiap kali, aku dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Pram tidak
bisa mengerti itu.
“Aku ingin kita menikah sebelum
aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harus menempuh masa idahmu dulu. Belum lagi
kita harus memikirkan pendapat orang lain yang pasti berkomentar kalau kau
menikah denganku segera setelah masa idahmu selesai. Dan aku hanya di sini
sepuluh bulan lagi.”
“Aku tahu. Aku juga berpikir
begitu. Tapi … Entahlah.”
“Apa kau tidak yakin aku akan
membuatmu bahagia?”
“Aku ….” aku tergagap dan
menggeleng.
“Jadi, bicaralah dengan Idan.”
Sore itu, aku pulang dengan hati
berat. Aku sudah bertekad untuk bicara dengan Idan malam itu juga. Aku tak akan
menundanya lagi.
Begitu aku tiba di rumah, Idan
sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku
mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa sebenarnya.
“Kenapa kau sudah di rumah?”
tanyaku.
Idan menyilangkan telunjuknya di
depan bibir dan menggandeng tanganku ke dalam rumah.
“Ada apa?”
“Sst!”
Ia membawaku ke serambi samping.
Dengan bangga dikembangkannya tangannya.
Di sana ada sebuah ayunan rotan
berwarna putih, cukup lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal yang
kelihatan sangat mengundang, berwarna hijau dengan gambar … mawar putih?
“Ini hadiah ulang tahun pertama
perkawinan kita,” katanya.
Mataku beralih cepat dari ayunan
rotan itu. Wajah Idan benar-benar sumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan
melihat wajahku yang pasti telah berubah warna.
“Aku … aku tidak punya hadiah apa-apa,”
gumamku sambil kembali menatap ayunan itu, menyembunyikan kalutku. “Aku lupa
….”
Idan tertawa. “Kau bahkan tidak
ingat ulang tahunmu sendiri,” katanya. Ia duduk di ayunan itu. “Ayo,” katanya
sambil menarik tanganku.
Aku duduk di sampingnya, tak tahu
mesti mengatakan apa. Aku benar-benar tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu,
aku dan Idan menikah, simulasi. Kenapa Idan harus menganggap hari itu demikian
istimewa sementara aku sendiri sama sekali tak mengingatnya?
Idan mulai berayun-ayun pelan sambil
menggenggam tanganku. Ia sedang menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya,
tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata
yang akan segera kuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk
mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati
yang telah kubangun runtuh berserpihan.
“Pit, kau tidak menyimak kata-kata
Pak Guru, anak nakal,” teguran Idan membuyarkan renunganku. “Ada apa?”
Kutatap matanya. “Dan, Pram
pulang.”
Dahinya berkerut. “Pram?”
“Pacarku yang pergi ke Jerman.”
“Oh,” ia mengangguk. “Kapan?”
“Sebulan lalu, waktu aku ulang
tahun.”
Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa
mengucapkan apa-apa setelah itu.
“Dia sudah menikah?” tanya Idan,
seperti mendorongku bicara.
Aku menggeleng.
“Lalu?”
“Dia ingin menikah denganku,”
ujarku cepat-cepat, tanpa memandang wajahnya. “Ia hanya di sini sepuluh bulan
lagi. Karena itu, aku ingin kita segera bercerai.”
“Oh.”
Idan tak mengatakan apapun selama
beberapa saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan ringan, seolah-olah
sambil lalu, ”Kau yakin ia mencintaimu?”
Aku mengangguk.
“Kau yakin akan bahagia
dengannya?”
Sekali lagi aku hanya mengangguk.
“Kalau begitu, selamat,”
ketulusannya terdengar hangat. “Aku ikut bahagia.”
Kuberanikan diri untuk menatap
wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik pun kekecewaan di sana. Rasa lega
meruahi hatiku.
Idan bertanya beberapa hal tentang
Pram dan semuanya kujawab dengan antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk
asmara. Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh
memperhatikan ceritaku. “Dan?” tegurku.
“Ya?”
“Kau tidak mendengarkan. Apa yang
sedang kau pikirkan?”
“Aku sedang berpikir, gadis mana
yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau punya alasan untuk bercerai denganku.”
Malam itu aku terbangun saat Idan
mengguncang bahuku. “Pit, bangun!”
“Ada apa?” gumamku. Jam alarm di
sisi ranjangku baru menunjukkan pukul tiga lima belas dini hari.
“Ganti baju cepat, kita mesti ke
rumah sekarang. Mama meninggal.”
Aku terlonjak duduk. “Apa?”
“Ganti baju,” perintah Idan sambil
meninggalkan kamarku.
Aku terpaku sejenak sebelum
akhirnya lari mengejar. “Kapan.”
“Baru saja.”
“Di?”
“Rumah. Ganti bajumu. Kita
berangkat lima menit lagi.”
“Idan ….”
Ia membanting pintu kamar di
depanku.
Aku kembali ke kamarku dan
bergegas mengganti piyamaku dengan baju yang pantas. Ketika aku keluar, semua
lampu belum menyala dan pintu depan masih tertutup. Juga pintu kamar Idan.
Kuketuk pintu itu perlahan.
“Dan, aku sudah siap.”
Tidak ada jawaban.
Aku menyelinap masuk. Kamar Idan
gelap, tapi dengan cahaya samar lampu taman aku bisa melihatnya meringkuk di
sudut, wajahnya tersembunyi di balik kedua tangannya. Ia menepis tanganku,
bahkan mendorongku terjungkal saat aku menyentuh bahunya. Tapi ketika untuk ketiga
kalinya kuulurkan tanganku, ia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku ia
menangis.
Hanya saat itu Idan tidak bisa
mengontrol emosinya. Setelah itu ia kembali menjadi Idan yang rasional dan
berkepala dingin, yang mengurus pemakaman, menerima para tamu dan menghibur
keempat kakak perempuannya dengan ketenangan yang nyaris mengerikan.
Sore harinya, saat aku tengah
membantu merapikan kembali ruang tamu, kakak tertua Idan, Kak Ira,
menghampiriku.
“Pit, bawa Idan pulang.”
“Apa tidak sebaiknya dia di sini
dulu, Kak?”
Kak Ira menggeleng. “Coba lihat
sendiri,” katanya sambil menunjuk ke halaman belakang.
Idan kutemukan di sana, sedang
mengisap sebatang rokok. Ia sudah tujuh belas tahun berhenti merokok dan
melihatnya kembali pada kebiasaan itu membuatku sadar ia sedang bergelut dengan
kepedihan yang lebih dalam dari yang ditunjukkannya. Ketika aku mendekat,
kulihat asbak di sampingnya telah penuh dengan puntung rokok dan kotak di atas
meja tinggal berisi sebatang.
Kucabut rokok itu dari antara
jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan tidak memprotes, ia bahkan tidak
menatapku. Aku sadar Kak Ira memang benar. Aku harus segera membawa Idan
jauh-jauh dari semua kenangan tentang ibunya.
“Aku mau pulang, Dan,” ujarku
sambil memegang tangannya.
Ia menggeleng pelan. “Aku akan
menginap di sini. Kau pulanglah sendiri. Besok aku pulang naik bus saja.”
“Aku tidak mau sendirian di
rumah.”
Idan menghela napas berat dan
akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepada kakak dan iparnya dan keluar untuk
mengambil mobil. Saat itu Kak Ira menggamit tanganku dan berbisik, ”Aku senang
Idan sudah menikah denganmu. Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat
seperti ini. Ia paling merasa kehilangan dengan meninggalnya Mama. Kau tahu, ia
tinggal dengan Mama selama tiga puluh tiga tahun.”
Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu.Kupeluk Kak
Ira dengan hati menggigil. Bagaimana bisa kukatakan kepadanya bahwa aku dan
Idan sudah sepakat untuk mengakhiri pernikahan ini secepatnya?
Sesampai di rumah, Idan langsung
menuju ke kamarnya.
“Kau mau kumasakkan nasi goreng,
Dan?”
“Nanti saja. Aku tidak lapar.”
“Kau tidak makan apa-apa dari
kemarin subuh. Nanti kau sakit. Mau ya?”
Idan mengangguk dengan mata hampa.
Aku jadi semakin khawatir melihatnya.
“Tunggu di sini,” ujarku lagi.
“Aku tidak akan lama.”
Ketika aku baru saja mengambil
telur dari lemari es, aku mendengar suara Idan di kamar mandi. Ia kutemukan
membungkuk di wastafel, menangis dan muntah hampir bersamaan. Untuk sesaat
kepanikan melumpuhkanku dan aku hanya bisa terpaku di ambang pintu, tak pasti
apa yang harus kulakukan. Insting pertamaku adalah lari keluar mencari bantuan.
Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan dalam keadaan seperti itu.
Kuhampiri Idan dengan ragu.
Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhanku agaknya sedikit menenangkannya, dan
lambat laun isaknya mereda. Ini membuatku lebih yakin dengan apa yang mesti
kulakukan selanjutnya. Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya. Tapi
tiba-tiba saja ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam
pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah ia ke kamar
dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang basah dan kuselimuti badannya
yang menggigil.
“Maaf, Pit,” bisiknya. “Aku tidak
bisa menangis di depan kakak-kakakku. Mereka ….”
“Aku tahu. Tidak apa-apa,”
tanganku masih gemetar saat aku mengelus rambutnya. “Aku buatkan teh panas,
nanti kau minum, ya.”
Ia mengangguk dan aku beranjak
meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia kelihatan agak lebih baik. Dihirupnya
sedikit teh yang kubawa. Wajahnya tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku
merapikan kembali selimutnya, ia memegang tanganku.
“Terima kasih.”
“Kau pernah melakukan lebih dari
ini untukku.”
“Bukan untuk tehnya. Untuk tidak
memberiku pernapasan buatan,” ia tersenyum nakal.
“Oh, kau!” aku ikut tersenyum,
lega.
“Dan untuk menikah denganku,”
lanjut Idan kemudian, ekspresinya begitu serius. “Setidak-tidaknya sebelum
meninggal, Mama bisa tenang karena mengira aku sudah beristri.”
Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah
dan terbata saat aku bicara, “Aku yang mesti berterima kasih kepadamu.”
“Untuk apa?”
“Untuk setahun yang kau lewati
denganku. Untuk kesabaranmu. Pengorbananmu.”
Idan tersenyum kecil. “Aku tidak
melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini setahun yang sangat menyenangkan
untukku. Seharusnya aku yang berterima kasih.”
“Jangan memaksa,” aku mencoba
bercanda. “Aku yang harus berterima kasih. Mengalahlah sedikit.”
Idan tersenyum dan mencubit
hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa
kekhawatiranku.
“Aku masih tidak mengerti kenapa
kau akhirnya mau terlibat dengan ide gilaku ini,” katanya.
“Entahlah, Dan,” aku tertawa
kecil. “Mungkin aku sudah sangat capai berkilah tiap kali ibuku merongrong soal
perkawinan. Dan aku melihat usulmu itu sebagai jawaban yang paling jitu untuk
menyelesaikan dua masalah sekaligus, keenggananku untuk menikah, karena tidak
ada calon yang pas; dan keinginan ibuku yang menggebu-gebu untuk segera
melihatku menikah.”
“Apa yang kau dapat setelah
setahun kita menikah?” tanyanya dengan mimik lebih serius.
Aku terdiam sejenak. “Banyak,”
jawabku akhirnya. “Aku belajar bahwa aku tidak menikah dengan malaikat atau
monster, tapi dengan manusia, yang punya kekurangan yang harus kumaafkan dan
keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan,
bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti
kekalahan, tapi boleh jadi suatu kemenangan bersama.”
Aku ingin menambahkan bahwa
pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi
aku tidak punya nyali untuk menyatakan semua itu.
“Kau memang selalu pintar bicara,”
Idan tersenyum.
“Kau sendiri? Apa yang kau
pelajari selama ini?”
“Hanya satu. Hidupku mungkin tidak
akan pernah sebahagia ini lagi setelah kau pergi.”
Aku tertegun. “Apa maksudmu?”
Idan bangkit dan duduk mencangkung
menatapku. “Tahun ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku
bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki
paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau
tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh
jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap
kau akan bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau
kau mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akal
sehat.”
Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia
tidak kelihatan sedang bercanda.Ia tampak sangat tenang dan serius.
“Aku masih belum mengerti,”
bisikku.
“Pernikahan ini tidak pernah hanya
sebuah simulasi untukku, Pit. Ini adalah pernikahan sesungguhnya untukku.”
“Apa maksudmu kau mencintaiku?”
suaraku tercekik.
“Apa yang tidak kau pahami? Aku
mencintaimu,” kata-kata Idan begitu lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan
keras yang membuatku terempas. “Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena
nyaris melindas kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih
sama-sama belasan tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga
kini.”
“Kau … kau tidak pernah ….”
“Kau tidak pernah memberiku
kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain atau patah hati
karena orang lain, dan kau selalu datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku
tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi.
Kalau kau bilang sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan
jago pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis
kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu biasa-biasa
saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku benci kau kasihani.
Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian, belum lagi kesempatan,
untuk berterus terang kepadamu.”
“Kau tidak pernah biasa-biasa
saja, Dan,” ujarku lirih. “Kau istimewa dengan caramu sendiri.”
Ia mengangkat bahu. “Tidak cukup
untuk kau cintai.”
Sesaat aku hanya bisa terdiam,
menatap kedua mata Idan, mencari tanda-tanda kalau semua ini hanya salah satu
dari sekian banyak permainannya. Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.
“Kenapa kau katakan semua ini
kepadaku waktu kita akan berpisah seperti ini? Apa yang kau inginkan?” tanyaku
datar.
Idan tersenyum kecil. Ada
kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan sebelumnya.“Aku
sendiri tidak tahu kenapa aku mesti mengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya
ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kau akan
mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu
kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau
benci kepadaku atau melupakanku sekalipun.”
Ia tertunduk sesaat. Ada sorot
yang asing berpijar di matanya saat ia kembali menatapku. “Dan kalau kau tanya
apa yang kuinginkan, aku ingin kau di sini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin
kau belajar dan akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah
sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi
menganggapku hanya sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin
mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan.”
Ia menghela napas berat. “Tapi itu
semua keinginanku. Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu
juga.”
Lama kami berdua saling
berpandangan.
“Terima kasih, Dan,” desahku
akhirnya. Kupeluk ia erat-erat, menyembunyikan air mataku di bahunya.
“Aku sudah bicara dengan Idan,
Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses perceraian itu. Idan baru saja
kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal perceraian saat ini.”
“Berapa lama?”
“Entahlah. Sebulan dua bulan
mungkin.”
“Kau tahu waktu kita sangat
terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu
kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun
ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu yang mestinya bisa kita lewati
berdua.”
“Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak
mungkin meninggalkan Idan sekarang. Dia membutuhkan aku.”
“Aku lebih membutuhkanmu dari dia,
Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita bisa seterusnya
bersama?”
Aku menghela napas panjang.
“Entahlah, Pram,” bisikku.
“Apa maksudmu?” suara Pram
terdengar kaget.
“Aku …. Aku tidak akan bahagia
kalau Idan menderita.”
“Ita! Kau tidak …. Dengar, pikir
baik-baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?”
“Aku tidak merasa menderita
menjadi istrinya.”
“Tapi kau tidak bahagia!”
“Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak
seperti saat aku bersamamu. Tapi Idan membuatku bahagia.”
“Kau tidak bisa melakukan ini, Ta.
Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan saat
itu kau akan menyesal karena membuang kesempatan ini.”
“Aku bisa belajar memaafkan diriku
sendiri.”
“Ita, kau tidak mencintainya!”
“Ia mencintaiku. Itu lebih dari
cukup.”
“Kau hanya bingung, Ta. Aku
mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat mencintaimu?”
“Aku tidak pernah akan lupa,
Pram.”
“Lantas apa yang membuatmu berubah
pikiran secepat ini?”
“Idan mengajariku tentang cinta.”
“Hanya karena itu?”
“Juga karena aku yakin, aku akan
belajar mencintainya.”
“Ita ….”
“Selamat tinggal, Pram.
Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya, atau mungkin lebih bahagia
lagi.”
Telepon kututup sebelum air mataku
luruh.
“Upit.”
Aku tersentak dan berbalik
seketika. Entah sudah berapa lama Idan berdiri di belakangku. Wajahnya penuh
tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku tak bisa menjawab. Air mataku
menetes satu-satu dan dengan lembut ia menyeka pipiku dengan jarinya.
“Aku tak bisa melihatmu begini,”
lanjutnya pelan. “Ini keputusan yang sangat konyol, Pit. Kau benar-benar akan
membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?”
Aku mengangguk.
“Dia akan membuatmu sangat
bahagia, Pit.”
Aku mengangguk.
“Kau akan menyesal.”
Aku mengangguk.
“Kau akan sedih, kecewa ….”
Aku mengangguk.
“Kau tidak mencintaiku.”
Aku menggeleng.
Idan terbelalak. “Upit!” pekiknya
tertahan.
“Idan!”
TAMAT
Penulis: Novia Stephani
Dipersembahkan untuk
penggemar :http://dimhad.6te.net
BAGUS BANGETT, hingga bisa di bayangkan di imajinasi ku.
BalasHapusApa pesan moralnya Wahyu? Coba dijelaskan di sini ya
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusPesan moralnya menurut saya, pentingnya ada komunikasi dalam hubungan.
HapusCerita nya sangat mengharukan
BalasHapusUpit akhirnya menikah bersama idan
Sipp. Menurut Dhaffin, apa pesan moralnya?
HapusCerita nya sangat keren dan membuat saya terharu
HapusCeritanya sangat bagus dan menyentuh hati, pesan moralnya adalah pentingnya komusikasi dalam pernikahan.
HapusPesan moral nya adalah belajar menghargai orang yang mencintai kita
BalasHapuscerita "Setelah Kau Menikahiku" tsb sangat menarik dan menyetuh hati, pesan moral dr cerita tsb adalah pentingnya komunikasi dalam pernikahan dan jangan menilai orang lain dari penampilan luarnya saja
BalasHapusCeritanya sangat menarik untuk dibaca. Pesan moral dari cerita ini mengajarkan bahwa cinta sejati memerlukan kepercayaan dan komitmen yang kuat. Sebelum memutuskan untuk memasuki pernikahan, penting untuk mengenal diri sendiri dan menentukan kebahagiaan pribadi, tanpa terpengaruh oleh ekspektasi sosial. Setiap orang berhak memilih jalannya sendiri menuju kebahagiaan.
BalasHapusMenurut saya, cerita ini sangat menyentuh hati.
BalasHapusSetelah saya baca sampai akhir, pesan moralnya adalah bahwa pernikahan itu bukanlah untuk mencari pasangan yang sempurna, tetapi untuk menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing, serta belajar memaafkan dan menghargai satu sama lain.
Cerita ini menurut saya cukup menarik, karena menggambarkan kehidupan setelah menikah. Pesan moral dari kisah "Setelah Kau Menikahiku" adalah kunci kesejahteraan dan kebahagiaan didalam rumah tangga itu saling percaya satu sama lain, selalu berkomunikasi dalam hal apapun, serta tidak berpikiran negatif terhadap pasangan.
BalasHapusMenurut saya cerita ini sangat BAGUS DAN MENYENTUH.
BalasHapusCerita yang menggambarkan perjuangan cinta yang kuat dan pengorbanan dalam pernikahan.
Pesan moral yang didapat adalah kesabaran dan komunikasi yang baik, sangat penting dalam mengahadapi masalah.
Cerita yang indah! Mengingatkan kita untuk menghargai cinta dan kesetiaan.
BalasHapusPesan moral yang dapat diambil adalah
Pernikahan membutuhkan komitmen dan kesabaran untuk menghadapi tantangan bersama.
Ceritanya sangat bagus sekali.pesan moralnya suatu kepercayaan itu penting
BalasHapusCerita yang sangat indah! ceritanya sangat indah dan menyentuh hati, mengingatkan kita pentingnya kepercayaan dan komunikasi di suatu hubungan
BalasHapusCeritanya sangat menarik. Pesan moral dari cerita ini adalah pentingnya memiliki keberanian untuk berbicara jujur tentang perasaan, agar tidak terjadi kesalahpahaman atau ketidakjelasan karena perasaan yang dipendam terlalu lama.
BalasHapusCeritanya sangat asik, mengajarkan kita betapa pentingnya komunikasi dalam hubungan dan saling mempercayai satu sama lain, agar tidak terjadi kesalahpahaman.
BalasHapuscerita tersebut menurut saya sudah cukup menarik bagi saya, pesan moralnya adalah jangan terlalu percaya pada penampilan dan kesan pertama dan pentingnya mengenal dan menerima pasangan secara utuh
BalasHapusCerita ini sangat menyentuh hati. Kisah cinta yang indah dan pentingnya komunikasi dan kepercayaan dalam pernikahan
BalasHapuscerita alurnya baguss. pesan moralnya pernikahan itu sakral jadi tidak boleh dibuat simulasi
BalasHapus